Jumat, 20 April 2012

DEFINISI SUBSIDI: MENELAAH KONTROVERSI

Disebut kontroversi karena ada dua definisi yang berbeda dan berlawanan. Tidak ada dari keduanya yang salah secara definitif, tetapi tidak akan bisa bertemu. Tulisan kali ini dilatarbelakangi oleh kontroversi subsidi BBM dan kebijakannya. Tentunya akan lebih baik apabila sebelumnya memahami definisinya, sebelum nanti akan mengulas kebijakan dan dampaknya. Dua Cara Pandang Yang Berbeda Secara definitif memang sangat bertolak belakang, karena cara pandang pertama mengatakan tidak mengeluarkan biaya atau disebut pendekatan profit loss. Sedangkan cara pandang kedua mengatakan mengeluarkan biaya atau menggunakan pendekatan cost loss. Keduanya diakui dan disebutkan dalam buku-buku ilmu ekonomi. Pendekatan profit loss diterapkan dalam lingkup mikroekonomi. Sedangkan pendekatan cost loss digunakan untuk kebijakan ekonomi. Titik temu di antara kedua pendekatan tersebut sebenarnya hanya terletak pada sasarannya, yaitu harga (price equilibrium). Pada pendekatan profit loss yang umumnya digunakan dalam lingkup mikroekonomi, istilah subsidi ditemukan pada penghitungan biaya pokok. Seperti diketahui, apabila tujuan organisasi produksi adalah untuk memperoleh keuntungan dari selisih antara harga pokok dan harga jual. Harga pokok adalah harga yang diperoleh dari komponen-komponen biaya dengan menggunakan metode perhitungan tertentu. Harga jual adalah besarnya harga pokok ditambah besarnya laba atau keuntungan yang dikehendaki. Harga jual biasanya ditentukan pula berdasarkan pertimbangan ekonomi, seperti harga persaingan atau harga pasar dan besarnya nilai manfaat atas produk. Pengertian subsidi berdasarkan pendekatan profit loss merupakan kebijakan atas penentuan harga jual yang besarnya sama dengan harga pokok. Dalam hal ini, pendekatan profit loss dijelaskan apabila pihak produsen tidak mendapatkan keuntungan, akan tetapi tidak pula mengalami kerugian. Produsen dikatakan rugi apabila harga yang dijual di bawah harga pokoknya. Penghitungan harga pokok sudah memperhitungkan keseluruhan ongkos produksi yang dibayarkan oleh pihak konsumen. Sebagai ilustrasi, seorang penjual roti tawar membuat kue tawar dengan harga pokok sebesar Rp 4.000 per biji. Tentu saja, harga pokok tersebut sudah memperhitungkan pula ongkos untuk berjualan. Jika si penjual kemudian menjual dengan harga jual sebesar Rp 4.000 per biji, maka disebutkan si penjual memberikan subsidi atas produknya. Jika harga pasar untuk roti tawar sejenis sebesar Rp 7.000 per biji, maka seharusnya si penjual akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 3.000 per biji roti tawar. Ini berarti apabila dijual sebesar harga pokoknya, maka si penjual memberikan subsidi sebesar Rp 3.000 per roti tawar yang dijual. Lain halnya apabila kasusnya si pembuat roti tawar tadi kemudian menjual roti tawar di bawah harga pokoknya. Si pembuat roti tawar tadi tidak bisa disebut memberikan subsidi, melainkan telah mengalami kerugian. Besarnya kerugian yang ditanggung oleh si pembuat roti adalah selisih antara besarnya harga pokok dan harga jual di mana harga jualnya di bawah atau lebih rendah daripada harga pokok. Sekali lagi, harga yang dijual di mana produsen mengalami kerugian tidak bisa dikatakan apabila produsen memberikan subsidi, melainkan produsen mengalami kerugian dalam penjualan. Pengertian subsidi dalam pendekatan kebijakan pemerintah memiliki perspektif yang berbeda dengan definisi menurut ilmu ekonomi. Sasarannya masih sama, yaitu harga. Dalam hal ini, kebijakan subsidi bertujuan untuk menekan harga penjualan di bawah harga yang umumnya berlaku. Harga jual bisa memiliki dua pengertian, yaitu harga jual yang ditetapkan oleh produsen atau harga jual yang mengikuti harga pasar (market price). Harga jual dalam arti ditetapkan atau ditentukan oleh produsen merupakan harga pokok ditambahkan besarnya keuntungan yang dikehendaki. Besarnya subsidi bisa jadi menggantikan tambahan keuntungan atau tambahan keuntungan ditambah beberapa ongkos produksi yang terhitung pada harga pokok. Ilustrasinya bisa dilihat pada gambar di bawah ini. Harga normal yang ditetapkan oleh produsen sebesar Pm atau disebut juga harga pasar. Produsen mendapatkan untung (laba) apabila menjual di antara harga Po hingga Pm. Dengan adanya kebijakan subsidi, pihak pemerintah membayar kepada pihak produsen sebesar rentang harga Ps. Dalam hal ini, besarnya subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah bisa jadi sebesar keuntungan (laba) atau sebesar keuntungan ditambahkan sebagian besarnya harga pokok. Dalam kasus subsidi bahan bakar minyak (BBM) menurut Undang-Undang No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi disebutkan apabila subsidi adalah aliran dana dari pemerintah ke PT Pertaminan (Persero) yang diberikan kewenangan tunggal (monopoli) untuk menyediakan BBM di dalam negeri. Besarnya subsidi BBM yang dibayarkan oleh pemerintah ke PT Pertamina (Persero) adalah sebesar nilai penjualan produk-produk BBM dikurangi besarnya biaya-biaya untuk menghasilkan BBM. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka besarnya subsidi BBM adalah sebesar nilai keuntungan dalam memproduksi produk-produk BBM. Setelah penyesuaian harga BBM pada tahun 2008 lalu, maka terdapat komponen BBM yang masih disubsidi seperti bensin jenis premium (RON88), solar, dan minyak tanah. Untuk solar disubsidi sebesar Rp 1.000 per liter, sedangkan untuk minyak tanah disubsidi dalam cakupan distribusi yang terbatas. Salah satu komponen produksi yang disubsidi pula oleh pemerintah seperti subsidi pupuk. Harga pupuk urea yang dijual oleh industri pupuk termasuk cukup mahal. Tentunya harga tersebut akan sulit dijangkau oleh para petani di pedesaaan yang rata-rata pendapatannya masih di bawah pendapatan nasional. Untuk keperluan mempertahankan kelangsungan usaha di sektor pertanian, pemerintah memberikan subsidi atas harga pupuk. Mekanismenya bisa dengan menjual harga beberapa komponen input lebih murah kepada produsen pupuk, sehingga nantinya menghasilkan harga jual dapat terjangkau oleh para petani. Munculnya Kontroversi Istilah subsidi dalam kebijakan ekonomi akan senantiasa menciptakan kontroversi dalam tahap pembuatan ataupun pembahasannya. Hal ini terjadi pula di seluruh negara yang masih menerapkan kebijakan subsidi. Namun, kontroversi kebijakan subsidi pada beberapa negara juga bervariasi, seperti halnya kontroversi kebijakan subsidi di Indonesia. Seperti krisis Eropa menyebabkan pergolakan politik di negeri mereka akibat wacana untuk pengurangan ataupun penghapusan subsidi. Kasus subsidi BBM berbeda dengan kasus subsidi lain (subsidi non BBM). Sebagai ilustrasi untuk subsidi pupuk, pihak pemerintah mengeluarkan anggaran yang dibayarkan kepada industri pupuk dalam bentuk insentif. Misalnya seperti menjual gas alam (LNG, bahan baku utama pembuatan urea) dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar, memberikan potongan harga untuk pasokan energi (listrik dan BBM), dan bentuk insentif lainnya yang dapat menurunkan harga pokok. Bentuk subsidi lainnya dapat berupa membayar sejumlah keuntungan produksi kepada pabrik pupuk urea. Dalam APBN tidak ditemukan pos pendapatan yang berasal dari industri pupuk, kecuali hanya dituliskan pos bagian laba BUMN. Oleh karena itu, subsidi non BBM dimasukkan ke sisi kanan model anggaran t-account, yaitu pada neraca pos pengeluaran anggaran (APBN). Subsidi BBM seharusnya tidak bisa diperlakukan sama dengan subsidi lainnya (subsidi non BBM). Ini berarti subsidi BBM ditempatkan pada sisi sebelah kanan neraca APBN (pos pengeluaran), sedangkan pendapatan migas ditempatkan di sisi sebelah kiri neraca APBN (pos pendapatan). Pemisahan tersebut menunjukkan apabila tidak ada keterkaitan langsung maupun tidak langsung antara pos pendapatan migas dan pos subsidi BBM. Sementara itu, aktivitas untuk menghasilkan BBM merupakan bagian dari aktivitas dalam pengelolaan (produksi) migas. Inilah yang dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie. Indonesia adalah produsen minyak mentah, akan tetapi pencatatannya di dalam APBN disamakan dengan negara bukan produsen minyak mentah. Dalam kasus subsidi BBM di Indonesia, bahwa pos subsidi BBM dipisahkan pengertiannya dengan pos pendapatan minyak bumi dan gas (migas). Terminologi yang digunakan bahwa subsidi BBM dikarenakan proses pengolahan (produksi) minyak bumi yang selanjutnya menghasilkan output (BBM) untuk dijual di dalam negeri maupun untuk ekspor, membentuk komponen harga jual (termasuk harga pokok), kebutuhan impor, dan keputusan untuk menetapkan harga dan pendapatan. Tidak ada suatu keharusan yang mutlak dalam menentukan terminologi subsidi (BBM). Namun, keberpihakan pemerintah dan orientasi kebijakan energi tidak boleh bertentangan dengan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Pertanyaan yang lebih besar, apakah benar ada subsidi BBM? Apakah ada yang disebut subsidi untuk bensin jenis premium? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui apabila masalah korupsi masih menjadi masalah fundamental di negeri ini. Korupsi terjadi di seluruh lapisan dan bidang pemerintahan, bahkan termasuk praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di dalam perusahaan negara (BUMN). Suatu fakta laporan keuangan parsial dari Exxon Mobil yang beroperasi di Indonesia pada tahun 2007 lalu menyebutkan perolehan keuntungan (laba bersih) sebesar 40,6 milyar USD atau sebesar Rp 373 triliun. Dengan menggunakan metode bagi hasil migas sebesar 85:15, maka perolehan yang diterima pemerintah sebesar Rp 684 triliun. Perolahan bagi hasil tersebut diterima setelah pendapatan kotor dikurangi recovery cost (RC). Angka yang cukup fantasitis dari pendapatan bagi hasil migas dengan pihak Exxon Mobil. Fakta finansial yang tidak pernah bisa dijelaskan oleh besarnya pendapatan migas yang diterima pemerintah. Sementara itu, rata-rata subsidi BBM setiap tahunnya tidak pernah melampaui angka Rp 150 triliun per tahunnya. Fakta lainnya, bahwa volume ekspor minyak mentah selalu lebih besar daripada volume impor minyak mentah. Jika perdagangan (transaksi) menggunakan harga internasional, tentunya pemerintah mendapatkan keuntungan (selisih ekspor dan impor) yang tidak sedikit, karena perbandingannya volume ekspor bisa mencapai hampir dua kali lipat volume impor. Kemanakah pendapatan-pendapatan migas yang seharusnya menjadi hak milik rakyat Indonesia? Kontroversi perihal subsidi BBM sesungguhnya bersumber dari rendahnya akuntabilitas pemerintah sendiri yang selanjutnya berdampak pada kepercayaan masyarakat. Pihak pemerintah tidak pernah bisa menyelesaikan masalah dirinya sendiri. Kasus maraknya tabung gas elpiji (LPG) yang meledak setahun yang lalu hingga memakan korban jiwa yang tidak sedikit hanya ditangani dengan saling lempar tanggungjawab. Sosialisasi untuk pengalihan bahan bakar minyak ke gas dengan memfasilitasi penyediaan gas converter kit hanya memilingi tengat waktu (target pelaksanaan) kurang dari 4 bulan. Sementara itu, pakar perminyakan Kurtubi sendiri sudah menganjurkan (rekomendasi) kepada pemerintah sejak 5 tahun yang lalu. Suatu pertanyaan besar pula, PT Pertamina (Persero) yang beroperasi di wilayah yang kaya minyak cuma memberikan laba bersih tidak lebih dari Rp 25 triliun per tahun, sementara Petronas Bhd. (Malaysia) mampu membukukan laba bersih di atas Rp 200 triliun per tahun. Pihak pemerintah menghendaki agar harga BBM di dalam negeri disesuaikan atau mengikuti harga internasional, bukan menghendaki menjual dengan harga keekonomiannya sendiri. Tentunya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar, ketimbang menggunakan mekanisme harga BBM di dalam negeri. Alasan yang melandasi tentunya karena faktor anggaran (APBN) yang kerap mengalami defisit atas sumber-sumber pembiayaan. Setiap tahunnya pihak pemerintah senantiasa mengajukan utang luar negeri. Dalam hal ini, pemerintah menghendaki berspekulasi terhadap harga minyak dunia yang dinamikanya mampu mengurangi faktor opportunity looses atau faktor kehilangan keuntungan yang besar. Alasan penghematan sesungguhnya hanya retorika semata. Kontroversi yang sesungguhnya perihal kebijakan subsidi berasal dari pertentangan paham neoklasik dan Keynesian. Dilandasi oleh pemikiran kapitalis, kelompok neoklasik tidak pernah berhenti menyerang kelompok yang pro terhadap campur tangan pemerintah ke dalam perekonomian. Tarik menarik di antara keduanya tidak pernah pula usai, bahkan perdebatan pun menjadi semakin rumit. Mengenai kontroversi ada atau tidak ada subsidi BBM, tergantung pada sisi mana hendak menjelaskan. Mekanisme keuntungan BBM yang disimulasikan oleh Kwik Kian Gie cukup masuk akal, karena menggunakan pendekatan yang mengintergrasikan penghitungan harga BBM ke dalam penghitungan pendapatan migas. Terminologi subsidi BBM yang digunakan oleh pihak pemerintah pun dapat dianggap rasional, karena masih mengikuti kaidah umum mekanisme anggaran pemerintah. Perbedaannya hanya terletak pada aspek kepentingan dan keberpihakan terhadap masing-masing pendekatan tersebut.

PENULISAN TINJAUAN PUSTAKA

Daftar Acuan: Djunaedi, A. 1986. The Development of A Microsomputer-Based Comprehensive Urban Planning Decision Support System. Disertasi Doktor. Texas A&M University, College Station, Texas, AS. Djunaedi, A. 1988. Laporan Penelitin: Pembuatan Simulator Penyebaran Beban Lalulintas ke Ruasruas Jalan dalam Sistem Jaringan Transportasi Darat dengan memanfaatkan Sistem Komputer Mikro. Penelitian didanai oleh SPP-DPP. Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta. Castetter, W. B.; dan R. S. Heisler. 1984. Developing and Defending A Disertation Proposal. Graduate School of Education, University of Pennsylvania, Philadelphia, Pennsylvania. Leedy, Paul D. 1997. Practical Research: Planning and Design. Sixth Edition. Prectice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Chapter 4: “The Review of the Related Literature”, hal. 71-91. PPS-UGM. 1997. Petunjuk Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Digabung, diterjemahkan, disingkat dan dimodifikasi untuk kepentingan kuliah Metodologi Penelitian di tingkat program pascasarjana oleh: Achmad Djunaedi (2000). Daftar Isi Bab ini: Halaman: Kegunaan tinjauan pustaka 2 Kegunaan 1: Mengkaji sejarah permasalahan 3 Kegunaan 2: Membantu pemilihan prosedur penelitian 4 Kegunaan 3: Mendalami landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan 4 Kegunaan 4: Mengkaji kelebihan dan kekurangan hasil penelitian terdahulu 4 Kegunaan 5: Menghindari duplikasi penelitian 5 Kegunaan 6: Menunjang perumusan permasalahan 5 Organisasi tinjauan pustaka 6 Kaitan Tinjauan Pustaka dengan Daftar Pustaka 8 Pencarian Pustaka secara elektronis/on-line 11 Tinjauan Pustaka mempunyai arti: peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka berfungsi 2— Penulisan Tinjauan Pustaka sebagai peninjauan kembali (review) pustaka (laporan penelitian, dan sebagainya) tentang masalah yang berkaitan—tidak selalu harus tepat identik dengan bidang permasalahan yang dihadapi—tetapi termasuk pula yang seiring dan berkaitan (collateral). Fungsi peninjauan kembali pustaka yang berkaitan merupakan hal yang mendasar dalam penelitian, seperti dinyatakan oleh Leedy (1997) bahwa semakin banyak seorang peneliti mengetahui, mengenal dan memahami tentang penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (yang berkaitan erat dengan topik penelitiannya), semakin dapat dipertanggung jawabkan caranya meneliti permasalahan yang dihadapi. Walaupun demikian, sebagian penulis (usulan penelitian atau karya tulis) menganggap tinjauan pustaka merupakan bagian yang tidak penting sehingga ditulis “asal ada” saja atau hanya untuk sekedar membuktikan bahwa penelitian (yang diusulkan) belum pernah dilakukan sebelumnya. Pembuktian keaslian penelitian tersebut sebenarnya hanyalah salah satu dari beberapa kegunaan tinjauan pustaka. Kelemahan lain yang sering pula dijumpai adalah dalam penyusunan, penstrukturan atau pengorganisasian tinjauan pustaka. Banyak penulisan tinjauan pustaka yang mirip resensi buku (dibahas buku per buku, tanpa ada kaitan yang bersistem) atau mirip daftar pustaka (hanya menyebutkan siapa penulisnya dan di pustaka mana ditulis, tanpa membahas apa yang ditulis). Berdasar kelemahan-kelemahan yang sering dijumpai di atas, tulisan ini berusaha untuk memberikan kesegaran pengetahuan tentang cara-cara penulisan tinjauan pustaka yang lazim dilakukan. Cakupan tulisan ini meliputi empat hal, yaitu: (a) kegunaan, (b) organisasi tinjauan pustaka, (c) kaitan tinjauan pustaka dengan daftar pustaka, dan (d) cara pencarian bahan-bahan pustaka, terutama dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kegunaan Tinjauan Pustaka Leedy (1997, hal. 71) menerangkan bahwa suatu tinjauan pustaka mempunyai kegunaan untuk: (1) mengungkapkan penelitian-penelitian yang serupa dengan penelitian yang (akan) kita lakukan; dalam hal ini, diperlihatkan pula cara penelitian-penelitian tersebut menjawab permasalahan dan merancang metode penelitiannya; (2) membantu memberi gambaran tentang metoda dan teknik yang dipakai dalam penelitian yang mempunyai permasalahan serupa atau mirip penelitian yang kita hadapi; (3) mengungkapkan sumber-sumber data (atau judul-judul pustaka yang berkaitan) yang mungkin belum kita ketahui sebelumnya; (4) mengenal peneliti-peneliti yang karyanya penting dalam permasalahan yang kita hadapi (yang mungkin dapat dijadikan nara sumber atau dapat ditelusuri karya -karya tulisnya yang lain—yang mungkin terkait); Penulisan Tinjauan Pustaka—3 (5) memperlihatkan kedudukan penelitian yang (akan) kita lakukan dalam sejarah perkembangan dan konteks ilmu pengetahuan atau teori tempat penelitian ini berada; (6) menungkapkan ide-ide dan pendekatan-pendekatan yang mungkin belum kita kenal sebelumya; (7) membuktikan keaslian penelitian (bahwa penelitian yang kita lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya); dan (8) mampu menambah percaya diri kita pada topik yang kita pilih karena telah ada pihakpihak lain yang sebelumnya juga tertarik pada topik tersebut dan mereka telah mencurahkan tenaga, waktu dan biaya untuk meneliti topik tersebut. Dalam penjelasan yang hampir serupa, Castetter dan Heisler (1984, hal. 38-43) menerangkan bahwa tinjauan pustaka mempunyai enam kegunaan, yaitu: (1) mengkaji sejarah permasalahan; (2) membantu pemilihan prosedur penelitian; (3) mendalami landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan; (4) mengkaji kelebihan dan kekurangan hasil penelitian terdahulu; (5) menghindari duplikasi penelitian; dan (6) menunjang perumusan permasalahan. Karena penjelasan Castetter dan Heisler di atas lebih jelas, maka pembahasan lebih lanjut tentang kegunaan tinjauan pustaka dalam tulisan ini mengacu pada penjelasan mereka. Satu persatu kegunaan (yang saling kait mengkait) tersebut dibahas dalam bagian berikut ini. Kegunaan 1: Mengkaji sejarah permasalahan Sejarah permasalahan meliputi perkembangan permasalahan dan perkembangan penelitian atas permasalahan tersebut. Pengkajian terhadap perkembangan permasalahan secara kronologis sejak permasalahan tersebut timbul sampai pada keadaan yang dilihat kini akan memberi gambaran yang lebih jelas tentang perkembangan materi permasalahan (tinjauan dari waktu ke waktu: berkurang atau bertambah parah; apa penyebabnya). Mungkin saja, tinjauan seperti ini mirip dengan bagian “Latar belakang permasalahan” yang biasanya ditulis di bagian depan suatu usulan penelitian. Bedanya: dalam tinjauan pustaka, kajian selalu mengacu pada pustaka yang ada. Pengkajian kronologis atas penelitian–penelitian yang pernah dilakukan atas permasalahan akan membantu memberi gambaran tentang apa yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti lain dalam permasalahan tersebut. Gambaran bermanfaat terutama tentang pendekatan yang dipakai dan hasil yang didapat. 4— Penulisan Tinjauan Pustaka Kegunaan 2: Membantu pemilihan prosedur penelitian Dalam merancang prosedur penelitian (research design), banyak untungnya untuk mengkaji prosedur-prosedur (atau pendekatan) yang pernah dipakai oleh peneliti-peneliti terdahulu dalam meneliti permasalahan yang hampir serupa. Pengkajian meliputi kelebihan dan kelemahan prosedur-prosedur yang dipakai dalam menjawab permasalahan. Dengan mengetahui kelebihan dan kelemahan prosedur-prosedur tersebut, kemudian dapat dipilih, diadakan penyesuaian, dan dirancang suatu prosedur yang cocok untuk penelitian yang dihadapi. Kegunaan 3: Mendalami landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan Salah satu karakteristik penelitian adalah kegiatan yang dilakukan haruslah berada pada konteks ilmu pengetahuan atau teori yang ada. Pengkajian pustaka, dalam hal ini, akan berguna bagi pendalaman pengetahuan seutuhnya (unified explanation) tentang teori atau bidang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan permasalahan. Pengenalan teori-teori yang tercakup dalam bidang atau area permasalahan diperlukan untuk merumuskan landasan teori sebagai basis perumusan hipotesa atau keterangan empiris yang diharapkan. Kegunaan 4: Mengkaji kelebihan dan kekurangan hasil penelitian terdahulu Di bagian awal tulisan ini disebutkan bahwa kegunaan tinjauan pustaka yang dikenal umum adalah untuk membuktikan bahwa penelitian (yang diusulkan) belum pernah dilakukan sebelumnya. Pembuktian keaslian penelitian ini bersumber pada pengkajian terhadap penelitian-penelitian yang pernah dilakukan. Bukti yang dicari bisa saja berupa kenyataan bahwa belum pernah ada penelitian yang dilakukan dalam permasalahan itu, atau hasil penelitian yang pernah ada belum mantap atau masih mengandung kesalahan atau kekurangan dalam beberapa hal dan perlu diulangi atau dilengkapi. Dalam penelitian yang akan dihadapi sering diperlukan pengacuan terhadap prosedur dan hasil penelitian yang pernah ada (lihat kegunaan 2). Kehati-hatian perlu ada dalam pengacuan tersebut. Suatu penelitian mempunyai lingkup keterbatasan serta kelebihan dan kekurangan. Evaluasi yang tajam terhadap kelebihan dan kelemahan tersebut akan berguna terutama dalam memahami tingkat kepercayaan (level of significance) hal-hal yang diacu. Perlu dikaji dalam penelitian yang dievaluasi apakah temuan dan kesimpulan berada di luar lingkup penelitian atau temuan tersebut mempunyai dasar yang sangat lemah. Evaluasi ini menghasilkan penggolongan pustaka ke dalam dua kelompok: Penulisan Tinjauan Pustaka—5 1. Kelompok Pustaka Utama (Significant literature); dan 2. Kelompok Pustaka Penunjang (Collateral Literature). Kegunaan 5: Menghindari duplikasi penelitian Kegunaan yang kelima ini, agar tidak terjadi duplikasi penelitian, sangat jelas maksudnya. Masalahanya, tidak semua hasil penelitian dilaporkan secara luas. Dengan demikian, publikasi atau seminar atau jaringan informasi tentang hasil-hasil penelitian sangat penting. Dalam hal ini, peneliti perlu mengetahui sumber-sumber informasi pustaka dan mempunyai hubungan (access) dengan sumber-sumber tersebut. Tinjauan pustaka, berkaitan dengan hal ini, berguna untuk membeberkan seluruh pengetahuan yang ada sampai saat ini berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi (sehingga dapat menyakinkan bahwa tidak terjadi duplikasi). Kegunaan 6: Menunjang perumusan permasalahan Kegunaan yang keenam dan taktis ini berkaitan dengan perumusan permasalahan. Pengkajian pustaka yang meluas (tapi tajam), komprehe nsif dan bersistem, pada akhirnya harus diakhiri dengan suatu kesimpulan yang memuat permasalahan apa yang tersisa, yang memerlukan penelitian; yang membedakan penelitian yang diusulkan dengan penelitianpenelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam kesimpulan tersebut, rumusan permasalahan ditunjang kemantapannya (justified). Pada beberapa formulir usulan penelitian (seperti misalnya pada formulir Usulan Penelitian DPP FT UGM), bagian kesimpulan ini sengaja dipisahkan tersendiri (agar lebih jelas menonjol) dan ditempatkan sesudah tinjauan pustaka serta diberi judul “Keaslian Penelitian”. Organisasi Tinjauan Pustaka Seperti telah dijelaskan di atas, banyak dijumpai kelemahan dalam penulisan tinjauan pustaka dilihat dari cara menyusun atau mengorganisasi materinya. Organisasinya yang lemah ditunjukan oleh tidak adanya sistem (keterkaitan) yang jelas ditampilkan dalam tinjauan pustaka tersebut. Berkaitan denga persyaratan untuk bersistem tersebut, dalam formulir Usulan Penelitian DPP FT UGM telah ditulis dengan jelas, sebagai berikut: 6— Penulisan Tinjauan Pustaka “TINJAUAN PUSTAKA (Buatlah suatu uraian yang baik, luas dan bersistem mengenai penelitian-penelitian yang sudah pernah diadakan dan yang mempunyai kaitan dengan penelitian yang diusulkan ini….)”. Dalam hal organisasi tinjauan pustaka, Castetter dan Heisler (1984, hal. 43-45) menyarankan tentang bagian-bagian tinjauan pustaka, yang meliputi: (1). pendahuluan, (2) pembahasan, dan (3) kesimpulan. Dalam bagian pendahuluan, biasanya ditunjukan peninjauan dan kriterian penetapan pustaka yang akan ditinjau (dapat diungkapkan dengan sederetann pertanyaan keinginan–tahu). Pada bagian pendahuluan ini pula dijelaskan tentang organisasi tinjauan pustaka, yaitu pengelompokan secara sistematis dengan menggunakan judul dan sub-judul pembahasan; umumnya, pengelompokan didasarkan pada topik; cara lain, berdasar perioda (waktu, kronologis). Contoh “bagian pendahuluan” dari suatu tinjauan pustaka sebagai berikut—Contoh 1: Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi lima kelompok pembahasan. Pembahasan pertama merupakan tinjauan singkat tentang sistem permodelan transportasi kota, sebagai pengantar atau pengenalan tentang penyebaran beban lalulintas ke ruas-ruas jalan. Pembahasan kedua berkaitan dengan pengetahuan penyebaran beban lalulintas ke ruas-ruas jalan (trip assignment) itu sendiri, dan pembahasan kelompok ketiga menyangkut tinjauan kronologis pengembangan paket-paket program komputer untuk perhitungan sebaran beban lalulintas. Pembahasan keempat bersangkut–paut dengan kritik terhadap paket-paket komputer dalam bidang sistem permodelan transportasi kota yang ada; sedangkan pembahasan kelima memfokuskan pada interaksi (dialog) antara program komputer dan pemakai. (Sumber: Djunaedi, 1988) Penulisan Tinjauan Pustaka—7 Contoh 2: ….tinjauan pustaka ini dirancang untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1) Seperti apakah proses perencanaan kota komprehensif itu? 2) Bagian mana saja dari proses tersebut yang terstruktur dan bagian mana saja yang tidak terstruktur? 3) Sejauh mana bagian-bagian proses tersebut sampai saat ini telah terkomputerkan? 4) Siapa saja atau pihak mana yang terlibat dalam proses perencanaan tersebut? 5) Seperti apakah produk akhir dari proses perencanaan tersebut? (Sumber: Djunaedi, 1986: hal. 9) Bagian kedua, pembahasan, disusun sesuai organisasi yang telah ditetapkan dalam bagian pendahuluan. Pembahasan pustaka perlu dipertimbangkan keterbatasan bahwa tidak mungkkin (tepatnya: tidak perlu) semua pustaka dibahas dengan kerincian yang sama; ada pustaka yang lebih penting dan perlu dibahas lebih rinci daripada pustaka lainnya. Dalam hal ada kemiripan isi, perincian dapat diterapkan pada salah satu pustaka; sedangkan pustaka lainnya cukup disebutkan saja tapi tidak dirinci. Misal : Komponen Sistem Penunjang Pembuatan Keputusan, seperti dijelaskan oleh Mittra (1986), meliputi empat modul: pengendali, penyimpan data, pengolah data, dan pembuat model. Penjelasan serupa diberikan pula oleh Sprague dan Carlson (1982), dan Bonczek et al. (1981). Sebagai peninjauan yang bersistem, disamping menuruti organisasi yang telah ditetapkan, dalam pembahasan secara rinci perlu ditunjukkan keterkaitan satu pustaka dengan pustaka lainnya. Bukan hanya menyebut “Si A menjelaskan bahwa . . . . . . Si B menerangkan . . . . . . Si Z memerinci . . . . . . “; tapi perlu dijelaskan keterkaitannya, misal “Si B menerangkan bahwa . . . . . . sebaliknya si G membantah hal tersebut dan menyatakan bahwa . . . . . . Bantahan serupa muncul dari berbagai pihak, misalnya diungkapkan oleh si W, si S dan si Y. Ketiga penulis terakhir ini bahkan menyatakan bahwa . . . . . . Tinjauan Pustaka diakhiri dengan kesimpulan atau ringkasan yang menjelaskan tentang “apa arti semua tinjauan pustaka tersebut (what does it all mean?)”. Secara rinci, kesimpulan atau ringkasan tersebut hendaknya memuat jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan berikut ini, tentang: (a) status saat ini, mengenai pengetahuann yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti (apakah permasalahan sebenarnya telah tuntas terjawab?); (b) penelitian-penelitian terdahulu yang dengan permasalahan yang dihadapi (adakah sesuatu dan apakah yang dapat dimanfaatkan?); 8— Penulisan Tinjauan Pustaka (c) kualitas penelitian-penelitian yang dikaji (mantap atau hanya dapat dipercayai sebagian saja?); (d) kedudukan dan peran penelitian yang diusulkan dalam konteks ilmu pengetahuan yang ada. Contoh bagian ringkasan dari tinjauan pustaka: Isi tinjauan pustaka di atas dapat diringkas sebagai berikut: (1) Telah tersedia pengetahuan tentang teknik perhitungan sebaran beban lalulinas ke ruas-ruas jalan. (2) Teknik tersebut telah diwujudkan dalam suatu bagian dari program komputer berskala besar sampai menengah, yang dijalankan denngan komputer besar (main–frame). (3) Dibutuhkan penerapan teknik tersebut pada komputer mikro mengingat komputer mikro telah tersebar luas di Indonesia. (4) Untuk pembuatan program simulator ini perlu dipertimbangkan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan menyangkut interaksi (dialog) antara program komputer dan pemakai yang bukan pemrogram, terutama dalam bentuk dialog, keterlibatan pemakai, dan keterbatasan waktu dalam diri pemakai. (Sumber: Djunaedi, 1988) Kaitan Tinjauan Pustaka dengan Daftar Pustaka Di bagian awal tulisan in telah disebutkan bahwa sering terdapat penulisan tinjauan pustaka yang mirip daftar pustaka. Misal: “Tentang hal A dibahas oleh si H dalam buku . . . . . . , si B dalam buku . . . . . . ; sedangkan tentang hal J diterangkan oleh si P dalam buku . . . . . . “. Peninjauan seperti ini biasanya tidak menyebutkan apa yang dijelaskan oleh masingmasing pustaka secara rinci (hanya menyebutkan siapa dan dimana ditulis). Penyebutan judul buku, yang seringkali tidak hanya sekali, tidak efisien dan menyaingi tugas daftar pustaka. Dalam tulisan ini, cara peninjauan seperti itu tidak disarankan. Pengacuan pustaka dalam tinjauan pustaka dapat dilakukan dengan cara yang bermacam-macam, antara lain: penulisan catatan kaki, dan penulisan nama pengarang dan tahun saja. Setiap cara mempunyai kelebihan dan kekurangan; tapi peninjauan tentang kelebihan dan kekurangan tersebut di luar lingkup tulisan ini. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas pemakaian cara penulisan nama akhir pengarang dan tahun penerbitan (dan sering ditambah dengan nomor halaman). Misal: Dalam hal organisasi tinjauan pustaka, Castetter dah Heisler (1984, hal. 43-45) menyarankan tentang bagian-bagian tinjauan pustaka, yang meliputi: (1) pendahuluan, (2) pembahasan, dan (3) kesimpulan. Penulisan Tinjauan Pustaka—9 Pengacuan cara di atas mempunyai kaitan erat dengan cara penulisan daftar pustaka. Penulisan daftar pustaka umumnya tersusun menurut abjad nama akhir penulis; dengan format: nama penulis, tahun penerbitan dan seterusnya. Susunan dan format daftar pustaka tersebut memudahkan untuk membaca informasi yang lengkap tentang yang diacu dalam tinjauan pustaka. Misal, dalam tinjauan pustaka: “. . . . . . Mittra (1986) . . . . . .” Dalam daftar pustaka, tertulis: Mittra, S. S., 1996, Decision Support System: Tools and Techniques, John Wiley & Sons, New York, N. Y. Sering terjadi, seorang penulis (usulan penelitian atau karya tulis) ingin menunjukan bahwa bahan bacaannya banyak; meskipun tidak dibahas dan tidak diacu dalam tulisannya, semuanya ditulis dalam daftar pustaka. Maksud yang baik ini sebaiknya ditunjukan dengan membahas dan mengemukakan secara jelas (menurut aturan pengacuan) apa yang diacu dari pustaka-pustaka tersebut dalam tulisannya. Tentunya hal yang sebaliknya, yaitu menyebut nama pengarang yang diacu dalam tinjauan pustaka tanpa menuliskannya dalam daftar pustaka (karena lupa) tidak perlu terjadi. Berikut ini salah satu petunjuk tentang penulisan nama untuk pengacuan dalam tinjauan pustaka (dan daftar pustaka)—dikutip dari petunjuk yang dikeluarkan oleh Program Pascasarjana UGM (1997: hal. 16-17): F. Penulisan Nama Penulisan nama mencakup narna penulis yang diacu dalam uraian, daftar pustaka, nama yang lebih dan satu suku kata, nama dengan garis penghubung, nama yang diikuti dengan singkatan, dan derajat kesarjanaan. 1. Nama penulis yang diacu dalam uraian Penulis yang tulisannya diacu daiam uraian hanya disebutkan narna akhimya saja, dan kalau lebih dari 2 orang, hanya nama akhir penulis pertama yang dicantumkan dlikuti dengan dkk atau et al: a. Menurut Calvin (1978) .... b. Pirolisis ampas tebu (Othmer dan Fernstrom, 1943) menghasilkan.. c. Bensin dapat dibuat dari metanol (Meisel dkk, 1976) ... Yang membuat tulisan pada contoh (c) berjumiah 4 orang, yaitu Meisel, S.L., McCullough, J.P., Leckthaler, C.H., dan Weisz, P.B. 2. Nama penulis dalam daftar pustaka Dalam daftar pustaka, semua penulis harus dicantumkan namanya, dan tidak boleh hanya penulis pertama diambah dkk atau et al. saja. 10— Penulisan Tinjauan Pustaka Contoh: Meisei, S.L., McCullough, J.P., Leckthaler, C.H., dan Weisz, P.B., 1 976, .... Tidak boleh hanya: Meisel, S.L. dkk atau Meisel, S.L. et al. 3. Nama ponulis lebih dari satu sutu kata Jika nama penulis ierdiri dari 2 suku kata atau lebih, cara penulisannya ialah narna akhir diikuti dengan koma, singkatan nama depan, tengah dan seterusnya, yang semuanya diberi titik, atau nama akhir dilkuti dengan suku kata nama depan, tengah, dan seterusnya. Contoh: a. Sutan Takdir Alisyahbana ditulis: Alisyahbana S.T., atau Alisyahbana, Sutan Takdir. b. Donald Fitzgerald Othmer ditulis: Othmer, D.F. 4. Nama dengan garis penghubung Kalau nama penulis dalam sumber aslinya ditulis dengan garis penghubung di antara dua suku katanya, rraka keduanya dianggap sebagai satu kesatuan. Contoh: Sulastin-Sutrisno ditulis Sulastin-Sutrisno. 5. Nama yang diikuti dengan singkatan Nama yang diikuti dengan singkatan, dianggap bahwa singkatan itu menjadi satu dengan suku kata yang ada di depannya. Contoh: a. Mawardi A.l. ditulis: Mawardi A.l. b. Williams D. Ross Jr. ditulis: Ross Jr., W.D. 6 . Derajat kosarjanaan Derajat kesarjanaan tidak boleh dicantumkan. Di bawah ini adalah salah satu contoh format daftar pustaka—dikutip dari petunjuk yang dikeluarkan oleh Program Pascasarjana UGM (1997: hal. 26): Anderson, T.F. 1951. Techniques for the Preservation of Three Dimensional Structure in Preparing Specimens for the Electron Microscope. Trans. N.Y. Acad. Sci. 13: 130- 134. Andrew, Jr., H.N. 1961. Studies in-Paleabotany. John Wiley & Sons, Inc., New York. Berlyn, G.P. and J.P. Miksche. 1976. Botanical Microtechnique and Cytochemistry. The lowa State University Press, Ames. Iowa. Bhojwani, S.S. and S.P. Bhatnagar, 1981. The Embryology of Angiosperms. Vikas Publishing House PVT Ltd., New Delhi. Cronquist, A. 1973. Basic Botany. Warper & Row Publisher,New York. Cutler, D.F., 1978. Applied P/ant Anatomy. Longman, London. Dawes. C.J. 1971. Bio/ogica/ Techniques in E/ectron Microscopy. Barnes & Nob/e, /nc., New York. Dv Praw, E.J. 1972. The Bioscience: Cel/ and Mo/ecu/ar Bio/ogy. Cell and Molecular Biology Council, Standford, Califomia. Bohlin, P. 1968. Use of the Scanning Reflection Electron Microscope in the Study of Plant and Microbial Material. J. Roy. Microscop. Soc. 88: 407 - 418. Erdtman, G. 1952. Po/len Morpho/ogy and P/ant Taxonomy. Almquist & Wiksell, Stockholm - The Chronica Botanica Co., Waltham, Mass. Esau, K. 1965. P/ant Anatomy. JohnWiley & Sons. Inc., New York. Esau, K. 1977. Anatomy of Seed P/ants. John Wiley 8 Sons. New York. Faegri, K. and J. Iversen.- 1975. Texbook of Po/len Ana/ysis. Hainer Press, New York. Pencarian Pustaka secara elektronis/on-line Penulisan Tinjauan Pustaka—11 Pada saat ini, banyak informasi ilmiah yang tersedia untuk diakses secara elektronis atau on-line. Informasi ilmiah tersebut tersedia dari media seperti: CD-ROM (yang dibaca lewat komputer), pita rekaman suara, pita rekaman video, dan lewat internet. Leedy (1997: hal. 73) menjelaskan beberapa keuntungan mencari informasi ilmiah secara on-line, yaitu antara lain: tersedia jutaan informasi dalam bentuk elektronis yang dipasarkan mendunia, publikasi elektronis biasanya lebih baru karena prosesnya lebih cepat daripada publikasi cetak, dan pencarian informasi berkecepatan tinggi (karena menggunakan komputer). Masalah yang saat ini dihadapi adalah beberapa institusi pendidikan belum mempunyai standar pengacuan bagi informasi ilmiah yang didapat dari sumber elektronis. Misal: seperti apa format sumber pustaka elektronis dari CD-ROM dan internet? Untuk mengisi kekosongan format tersebut, di bawah ini dikutipkan format yang disarankan oleh Kennedy (1998: hal. 175-176): Komponen dasar dari sitasi (pengacuan) pustaka adalah sebagai berikut: Nama akhir pengarang, Inisial. Tahun publikasi (bila ada). Judul karya. Judul tempat atau media informasi (tanggal informasi dikumpulkan dari media tersebut). Contoh untuk situs FTP (File Transfer Protocol): Johnson, P. 1994. Tropical Indonesian Architecture. ftp://indoarch.com/Pub/CCC94/johnson-p (22 Apr. 2000). Contoh untuk situs WWW (World Wide Web): Djunaedi, A. 2000. The History of Indonesian Urban Planning.. http://www.mpkd -ugm.ac.id/adj/riset99/ (18 Apr. 2000). Contoh untuk informasi lewat e -mail: Djunaedi, A. 22 Maret 2000. The urban pattern of some coastal cities in the northern Central Java.. research-news@ugm.ac.id (19 Apr. 2000).

kecerdasan emosi

Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya. Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut. Jadi orang yang cerdas secara emosi bukan hanya memiliki emosi atau perasaan-perasaan, tetapi juga memahami apa artinya. Dapat melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita, mampu memahami orang lain seolah-olah apa yang dirasakan orang itu kita rasakan juga. Tidak ada standar test EQ yang resmi dan baku. Namun kecerdasan Emosi dapat ditingkatkan, baik terukur maupun tidak. Tetapi dampaknya dapat dirasakan baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Banyak ahli berpendapat kecerdasan emosi yang tinggi akan sangat berpengaruh pada peningkatan kualitas hidup. Setidaknya ada 5 unsur yang membangun kecerdasan emosi, yaitu: 1. Memahami emosi-emosi sendiri 2. Mampu mengelola emosi-emosi sendiri 3. Memotivasi diri sendiri 4. Memahami emosi-emosi orang lain 5. Mampu membina hubungan sosial Sejauh mana kecerdasan emosi anda? Untuk mengetahuinya, kelima unsur diatas dapat dijadikan barometer untuk mengukur apakah anda termasuk orang yang cerdas secara emosi. Berikut ini adalah hal-hal spesifik yang perlu dipahami dan dimiliki oleh orang-orang yang cerdas secara emosi: Mengatasi Stress Stress merupakan tekanan yang timbul akibat beban hidup. Stress dapat dialami oleh siapa saja. Toleransi terhadap stress merupakan kemampuan untuk bertahan terhadap peristiwa-peristiwa buruk dan situasi penuh tekanan tanpa menjadi hancur. Ini berarti mengelola stress dengan positif dan merubahnya menjadi pengaruh yang baik. Orang yang cerdas secara emosional mampu menghadapi kesulitan hidup dengan kepala tegak, tegar dan tidak hanyut oleh emosi yang kuat. Cenderung menghadapi semua hal, bukannya lari dan menghindar. Dapat mengelakkan pukulan sehingga tidak hancur dan tetap terkendali. Mungkin sesekali terjatuh namun tidak terpuruk sehingga dapat berdiri tegak kembali. Mengendalikan Dorongan Hati Merupakan karakteristik emosi untuk menunda kesenangan sesaat untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hal ini sering juga disebut “menahan diri”. Orang yang cerdas secara emosi tidak memakai prinsip “harus memiliki segalanya saat itu juga”. Mengendalikan dorongan hati merupakan salah satu seni bersabar dan menukar rasa sakit atau kesulitan saat ini dengan kesenangan yang jauh lebih besar dimasa yang akan datang. Kecerdasan emosi penuh dengan perhitungan. Mengelola Suasana Hati Merupakan kemampuan emosionil yang meliputi kecakapan untuk tetap tenang dalam suasana apapun, menghilangkan gelisahan yang timbul, mengatasi kesedihan atau berdamai dengan sesuatu yang menjengkelkan. Orang yang cerdas secara emosi tidak berada dibawah kekuasaan emosi. Mereka akan cepat kembali bersemangat apapun situasi yang menghadang dan tahu cara menenangkan diri. Mengelola suasana hati bukan berarti menekan perasaan. Salah satu ekspresi emosi yang bisa timbul bagi setiap orang adalah marah. Menurut Aristoteles, Marah itu mudah. Tetapi untuk marah kepada orang yang tepat, tingkat yang tepat, waktu, tujuan dan dengan cara yang tepat, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas secara emosi. Ketiga hal tersebut diatas, merupakan kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi-emosi diri sendiri yang harus dimiliki oleh orang-orang yang dikatakan cerdas secara emosi. Memotivasi Diri Orang dengan keterampilan ini cenderung sangat produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka hadapi. Ada banyak cara untuk memotivasi diri sendiri antra lain dengan banyak membaca buku atau artikel-artikel positif, “selftalk”, tetap fokus pada impian-impian, evaluasi diri dan sebagainya. Memahami Orang lain Menyadari dan menghargai perasaan-perasaan orang lain adalah hal terpenting dalam kecerdasan emosi. Hal ini juga biasa disebut dengan empati. Empati bisa juga berarti melihat dunia dari mata orang lain. Ini berarti juga dapat membaca dan memahami emosi-emosi orang lain. Memahami perasaan orang lain tidak harus mendikte tindakan kita. Menjadi pendengar yang baik tidak berarti harus setuju dengan apapun yang kita dengar. Keuntungan dari memahami orang lain adalah kita lebih banyak pilihan tentang cara bersikap dan memiliki peluang lebih baik untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan baik dengan orang lain. Kemampuan Sosial Memiliki perhatian mendasar terhadap orang lain. Orang yang mempunyai kemampuan sosial dapat bergaul dengan siapa saja, menyenangkan dan tenggang rasa terhadap orang lain ynag berbeda dengan dirinya. Tingkah laku seperti itu memerlukan harga diri yang tinggi, yaitu: menerima diri sendiri apa adanya, tidak perlu membuktikan apapun (baik pada diri sendiri maupun orang lain), bahagia dan puas pada diri sendiri apapun keadaannya. Kemampuan sosial erat hubungannya dengan keterampilan menjalin hubungan dengan orang lain. Orang yang cerdas secara emosi mampu menjalin hubungan sosial dengan siapa saja. Orang-orang senang berada disekitar mereka dan merasa bahwa hubungan ini berharga dan menyenangkan. Ini berarti kedua belah pihak dapat menjadi diri mereka sendiri. Orang-orang dengan kecerdasan emosi yang tinggi bisa membuat orang lain merasa tentram dan nyaman berada didekatnya. Mereka menebar kehangatan dan keterbukaan atau transparansi dengan cara yang tepat.

MULTIDIMENSIONAL APPROACH DALAM PENULISAN SEJARAH

OLEH : INDRIYANTO "Untuk dapat memberikan penjelasan yang memadai, kita harus menggunakan banyak alat analisa. Mengingat sangat kompleksnya pokok persoalan ini, maka suatu deskripsi historis saja tidak akan cukup. Sifat gerakan-gerakan sosial itu sendiri menghendaki agar penjelasan genetis dilengkapi dengan penjelasan analitis. Dalam hubungan ini, pendekatan-pendekatan lain dapat ditambahkan kepada pendekatan historis. Disiplin-disiplin lain, seperti sosiologi, antropologi sosial, dan ilmu politik berada pada kedudukan yang lebih baik untuk menganalisis fenomena gerakan-gerakan sosial. Konstruksi-konstruksi konsepsial atau teori-teori mereka jelas mempunyai daya penjelas yang lebih besar daripada penuturan sejarah yang polos. Oleh sebab itu, dalam mencari petunjuk-petunjuk ke arah kondisi-kondisi kausal gerakan-gerakan sosial, kita harus mempertemukan disiplin-disiplin itu. Penggunaan pemahaman-pemahaman yang telah dicapai oleh disiplin-disiplin itu tidak boleh tidak akan memperkokoh analisis kita dan memperluas pandangan kita tentang gerakan itu." (Sartono Kartodirdjo, 1984: 24-25) A. Pendahuluan Seperti yang dikatakan oleh Huizinga, bahwa sejarah adalah pertanggungjawaban masa silam. Oleh karena itu manusialah yang menentukan arti masa silam itu. Sejarah dalam pengertian sebagai rekonstruksi masa lampau, dalam perkembangannya senantiasa dihadapkan dengan berbagai permasalahan dan perdebatan tentang bagaimana sebaiknya menggunakan cara-cara untuk merekonstruksi masa lampau itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan "kebenarannya". Sejak zaman Herodutus hingga sekarang ini penulisan sejarah kritis selalu di "rethinking" untuk menyempurnakan peralatan metodologis dan analitisnya. Perkembangan akhir-akhir ini telah muncul suatu gagasan pemikiran dalam penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan multidimensional, yaitu suatu pendekatan dengan menggunakan bantuan konsep-konsep dan teori-teori dari berbagai cabang ilmu sosial untuk menganalisis peristiwa masa lampau. Di Indonesia, multidimensional approach ini dipelopori oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, yang telah merealisasikan gagasan ini dalam disertasinya yang berjudul The Peasant Revolt of Banten in 1888. Memang diakui, bahwa selama ini banyak tulisan sejarah yang bersifat deskriptif naratif terutama yang dihasilkan oleh penulis yang bukan ahli sejarah. Jenis sejarah ini ditulis tanpa memakai teori dan metodologi. Padahal, masalah teori dan metodologi sebagai bagian pokok ilmu sejarah mulai diketengahkan apabila penulisan sejarah tidak semata-mata bertujuan untuk menceritakan kejadian, tetapi bermaksud menerangkan kejadian itu dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, kontkes sosial-kulturalnya, pendeknya secara mendalam hendak diadakan analisis tentang faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual tentang unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen dari proses sejarah yang dikaji. (Sartono Kartodirdjo, 1988: 2) Itulah sebabnya dalam melakukan pengkajian dan analisis dibutuhkan peralatan analitis yang dapat dioperasionalkan fungsinya, sehingga relevan dengan permasalahan yang sedang dianalisis. Langkah penting dalam membuat analisis sejarah ialah dengan menyediakan suatu kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan digunakan dalam membuat analisis itu. Sementara itu, dalam penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensional, disiplin sejarah merupakan disiplin pokok. Meskipun demikian, tidaklah menghalangi dipergunakannya konsep-konsep dan metode-metode ilmu-ilmu bantu guna memperkaya dan memperdalam kisah sejarah. Ibarat seorang pemahat, bila ia membuat patung besar mempergunakan pahatan besar, tetapi bila patung itu kecil dan rumit, maka ia membutuhkan pahatan-pahatan yang kecil dan renik pula. (Kartodirdjo, 1982: vii) Jadi, alat haruslah sesuai dengan produk yang hendak dihasilkan. Pendekatan dalam memahami suatu peristiwa sejarah, dapat dilakukan melalui berbagai jalur metodologis atau perspektif teoritis dan yang terpenting adalah jalan atau perspektif ekonomis, sosiologis, politikologis, dan kultural-antropologis. Untuk tujuan-tujuan analitis sejumlah aspek dari fenomena-fenomena yang kompleks itu dapat diisolasikan, akan tetapi hal itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan distorsi pada konteks yang bersangkutan. Kita dapat mengandaikan bahwa pertemuan beberapa faktor telah menyebabkan terjadinya peristiwa sejarah. Sebelum mencapai titik pertemuan itu, faktor-faktor itu masing-masing mengalami perkembangannya sendiri. Berdasarkan pertimbangan teoritis ini, kita bisa membahas secara terpisah aspek-aspek itu sebagai faktor-faktor kondisional dari peristiwa sejarah. (Kartodirdjo, 1984: 24) Dengan demikian jelaslah bahwa ada hubungan yang erat antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, terutama terwujud pada perubahan metodologi. Pembaharuan metodologi tahap pertama akan terjadi karena pengaruh ilmu diplomatik sejak Mabillon, sedang yang dibahas ini adalah merupakan tahap kedua, yang terjadi karena pengaruh ilmu sosial. Perubahan metodologi itu menyangkut rapproachment. Implikasinya adalah, bahwa setiap riset design memerlukan kerangka referensi yang bulat, yaitu memuat alat-alat analitis yang akan meningkatkan kemampuan untuk menggarap data. Rapproachment antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial terutama menyangkut penggunaan konsep-konsep dan teori-teorinya. Mengapa demikian? Oleh karena sejarah bersifat empiris, maka sangat primer pentingnya untuk berpangkal pada fakta-fakta tersaring dari sumber sejarah, sedangkan teori dan konsep hanya merupakan alat untuk mempermudah analisis dan sintesis. Di samping itu dalam menggarap analisis sejarah, hipotesis dan teori sangat membantu cara kerja kita supaya tidak acak-acakan. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa fakta-fakta sejarah tidak boleh untuk mendukung suatu teori tetapi sebaliknya, teori yang tidak dapat menerangkan fakta-fakta perlu ditinggalkan. Dengan demikian, seperti apa yang dikatakan oleh Crane Brinton sangat mendukung gagasan ini, yaitu "the conviction that historians should try to interpret or understand history so as to make written history 'at least a commulative body of knowledge useful as a guide in solving our present problems of human relations. (Brinton, 1946: 342) Memang harus diakui bahwa pertumbuhan ilmu-ilmu sosial pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 sungguh luar biasa dan telah memberikan horison-horison baru, sehingga bagi ilmu sejarah terbuka kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan adaptasi terhadap kedudukannya, khususnya pada posisi metodologisnya, dengan mengarahkan diri terhadap ilmu-ilmu sosial. Kemudian, apa yang melatarbelakangi penyesuaian ilmu sejarah terhadap ilmu-ilmu sosial itu? Paling tidak ada tiga alasan yang mendasarinya, yaitu: 1) Perluasan problem areas serta tema-tema baru menuntut agar sejarah lebih bersifat analitis dan tidak naratif semata-mata; 2) Dengan adanya kemungkinan meminjam alat-alat analitis atau kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial ada potensi lebih besar bagi sejarah untuk mengungkapkan pelbagai dimensi gejala-gejala sejarah; 3) Sebagai umpan balik dari perkembangan itu terciptalah jenis-jenis sejarah baru yang lebih banyak memakai pendekatan social-scientific, yaitu suatu jenis sejarah yang berbeda secara mendasar dari sejarah naratif. (Kartodirdjo, 1990: 255) Di sinilah ilmu sejarah telah mengalami revolusi kedua untuk meningkatkan relevansinya dalam menggarap objek penelitiannya. Perbincangan tentang gagasan metodologi sejarah secara social scientific ini akan lebih terarah manakala kita dapat mengupas beberapa hal yang berkaitan dengan pemahaman problem metodologis dalam sejarah. Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, antara lain: 1) Bagaimanakah hubungan antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya?; 2) Apa pentingnya pendekatan ilmu-ilmu sosial bagi ilmu sejarah?; 3) Apa relevansinya bagi ilmu sejarah yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial?; 4) Bagaimana penggunaan konsep-konsep dan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial itu dalam metodologi sejarah?; 5) Bagaimana pula perkembangan dan tanggapan terhadap multidimensional approach ini? Itulah perbincangan di sekitar statement dari Prof. Sartono Kartodirdjo, yang perlu diulas dalam paper ini. B. Hubungan Antara Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial Untuk memahami masalah sejarah dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial, perlu kiranya lebih dahulu dikemukakan mengenai apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu sosial itu, dan apa yang menjadi sasarannya, tujuan, serta hubungannya antara satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu sosial di sini adalah semua ilmu pengetahuan atau disiplin-disiplin akademis yang memiliki sasaran studinya pada manusia dalam hubungan sosialnya. (Kenzie, 1966: 7-8) Karena masalah manusia dalam kehidupan masyarakat mencakup pengertian yang luas maka untuk dapat mempelajari dan memahami secara mendalam diperlukan suatu pembagian lapangan perhatian yang secara khusus memusatkan pada salah satu segi dari tingkah laku manusia dalam pergaulannya yang dilola dalam kesatuan-kesatuan lapangan studi. (Suryo, 1980: 1) Nama-nama lapangan studi kemudian diberikan menurut jenis tingkah laku dari segi-segi kehidupan masyarakat yang menjadi pusat pengamatannya. Adapun nama-nama disiplin yang termasuk dalam kelompok ilmu sosial adalah ilmuekonomi, sosiologi, anthropologi sosial, ilmu politik, psikologi sosial, dan sejarah. Tiap-tiap disiplin ini memiliki sejarahnya sendiri, wengku pengamatan, permasalahan, sumber-sumber bahan dan sering juga memiliki teknik / metode penelitian sendiri-sendiri. (Suryo, Ibid) Bahwasanya ilmu sejarah termasuk dalam lingkungan ilmu sosial, memerlukan sedikit penjelasan. Pertama perlu diketahui bahwa sejarah dikualifikasikan sebagai "ilmu" baru pada masa abad ke-19. Bila pada abad ke-18 sejarah dianggap arts, maka pada abad ke-19 sejarah dianggap lebih bersifat sebagai suatu sistem. Dalam bentuknya sebagai arts sejarah hanyalah merupakan bentuk pemikiran manusia yang disampaikan dalam bentuk narration yang secara literer melukiskan persitiwa masa lampau, dan bersifat mempersoalkan masalah; apa, kapan, di mana, dan bagaimana suatu peristiwa itu terjadi. Tekanan lebih banyak diarahkan pada segi-segi literernya, hal-hal yang unik, dan tidak menggunakan analisis. Maka dari itu dalam studi sejarah yang konvensional ini tidak mendapat persoalan kausalitas sebagai pusat penggarapannya, oleh karena itu tidak terdapat pertanyaan "mengapa". Selain tidak mempersoalkan masalah "mengapa", sejarah konvensional tidak memiliki kerangka konseptual dalam menggarap sasarannya. Dalam keadaan yang sedemikian itu sejarah kurang mempunyai arti karena tidak dapat memberikan penjelasan mengenai masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan sejarah yang bersifat literer, maka sejarah sebagai sistem, menghendaki adanya sistematisasi dalam penggarapan sasaran studinya. Dalam hal ini sejarah memiliki kerangka kerja konseptual yang jelas dan memiliki peralatan metodologis dalam menganalisis sasaran yang dipelajarinya. Dengan menggunakan prosedur kerja metodologis seperti ini maka sejarah mampu mengungkapkan kausalitas secara tajam sehingga dapat memperoleh gambaran yang jelas dari suatu peristiwa. Dilihat dari sasaran objeknya, maka studi sejarah dengan studi ilmu sosial lainnya tidaklah banyak berbeda. Mengenai masalah deskripsi dan analisis, bagi sejarah ataupun sosiologi dan juga ilmu-ilmu lain, dikotomi itu adalah membantu. Analisis menghendaki suatu deskripsi, demikian pula deskripsi yang memadai adalah deskripsi yang rumit, yang tergantung pada cukupnya sebab-sebab yang ada di dalamnya. (Kartodirdjo, 1970: 61-68) Dalam kecenderuangannya sekarang anatar keduanya dalam mencari sebab-sebab sama-sama punya arti. Sejarah mempelajari yang unik, sedangkan sosiologi mempelajari yang umum. Tanpa perhubungan antara keduanya, maka tidak akan diperoleh eksplanasi. Perlu dicatat, bahwa sekalipun sosiologi lebih mementingkan generalisasi, tetapi dalam penggarapannya memerlukan pula segi-segi keunikan secara historis. Sebaliknya dalam sejarah, sekalipun sasarannya lebih diarahkan pada keunikan, tetapi juga tidak berarti mengabaikan sifat-sifat yang umum. Sebagai contoh dalam sejarah diperlukan juga konsep-konsep umum untuk mengkonseptualisasikan gejala sejarah, seperti tercermin dalam penggunaan konsep feodalisme, borjuasi, kapitalisme, dan lain-lain. (Suryo, Ibid: 5) Kemudian, bagaimana hubungan timbal balik antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Hubungan antara sejarah dengan sosiologi, tercermin dalam ungkapan yang berbunyi "sejarah adalah sosiologi dengan pekerjaan berat. Sosiologi adalah sejarah tanpa pekerjaan berat". Dalam perkembangan kedua disiplin saling berhubungan erat, sehingga timbul jenis-jenis pendekatan interdisipliner antara keduanya. Sebagai contoh dapat ditunjukkan tentang karya-karya yang sifatnya sosiologis dalam konsep-konsepnya dan historis dalam penggarapannya. Misalnya: Penulis yang menggunakan pendekatan sosiologis bahan-bahan sejarah (sociological history) antara lain: Caulanges, Giots, Pirenne, Maunier, Maitland, Stephenson, Marc Bloch. Tema yang diambil oleh penulis ini antara lain memusatkan pada lahir dan berkembangnya masyarakat tertentu, terutama yang berhubungan dengan masalah demografi, ekonomi, dan perpindahan penduduk. Kesemuanya memusatkan sejarah Eropa pada periode klasik atau pertengahan. Ada pula yang memusatkan pada masalah case-study tentang daerah kebudayaan. Contohnya: Howard Beeker, Jacob Burchard, Max Weber, Toynbee, dan lain-lain. 2. Hubungan antara sejarah dengan ilmu politik. Secara konvensional sejarah politik dalam hal ini banyak menampilkan segi politik secara menonjol. Dalam hubungannya dengan kedua disiplin ini melahirkan apa yang disebut pendekatan ilmu politik, dan pendekatan institusional, pendekatan legalistis, pendekatan kekuasaan, pendekatan nilai dan pengaruh, pendekatan kelompok, dan sebagainya. 3. Hubungan antara sejarah dan anthropologi juga erat terutama bagi sejarah karena mendapat manfaat dengan pendekatan kulturalnya. Anthropologi lazim mengkaji suatu komunitas dengan pendekatan sinkronis, yaitu seperti membuat suatu pemotretan pada momentum tertentu mengenai pelbagai bidang atas aspek kehidupan komunitas, sebagai bagian dari satu kesatuan atau sistem serta hubungan satu sama lain sebagai subsistem dalam suatu sistem. Rasanya gambaran sinkronis ini tidak memperlihatkan pertumbuhan atau perubahan. Justru dalam studi anthropologi diperlukan pula penjelasan tentang struktur-struktur sosial yang berupa lembaga-lembaga, pranata, sistem-sistem, kesemuanya akan dapat diterangkan secara lebih jelas apabila diungkapkan pula bahwa struktur itu adalah produk dari perkembangan di masa lampau. Hal ini akan dapat dijelaskan eksistensinya dengan melacak perkembangan sejarahnya. (Kartodirdjo, 1988: 165) 4. Hubungan antara sejarah dengan ekonomi. Sepanjang sejarah modern telah muncul kekuatan-kekuatan ekonomi pasar internasional maupun nasional. Dengan demikan, juga menyangkut soal metodologis untuk memahami perkembangan itu. Hubungan antara keduanya memungkinkan sejarah memperoleh hipotesa-hipotesa dan model-model yang berhubungan dengan tindakan sosial dalam hubungannya dengan alokasi sumber kehidupan dan pemilihan alternatifnya. (Suryo, Ibid: 7) C. Pentingnya Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Ilmu Sejarah Dalam perkembangan studi sejarah kritis sejak akhir Perang Dunia II menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ilmu sosial. Rapproachment atau proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (Kartodirdjo, 1988: 130) 1. Sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks. Oleh karena objek yang demikian memuat pelbagai aspek atau dimensi permasalahan, maka konsekuensi logis ialah pendekatan yang mampu mengungkapkannya. 2. Pendekatan multidimensional atau social-scientific adalah yang paling tepat untuk dipakai sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala tersebut di atas. 3. Ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan pesat, maka menyediakan berbagai teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analisis historis. 4. Lagi pula studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana saja, tetapi juga ingin melacak pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam berbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu memerlukan dan menuntut adanya alat analitis yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan sebagainya. Perlu diakui bahwa dalam periode tersebut di atas ilmu sejarah menerima pengaruh besar dari kemajuan pesat ilmu sosial, antara lain perspektivisme yang menonjol, sehingga terasa perlu mengadakan perubahan metodologis yang lebih canggih serta lebih produktif. Peminjaman alat-alat analitis dari ilmu-ilmu sosial adalah wajar, oleh karena sejarah konvensional miskin akan hal itu, antara lain disebabkan oleh tidak adanya kebutuhan menciptakan teori dan istilah-istilah khusus serta memakai bahasa kehidupan sehari-hari dan common sense. Rapproachment antara ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial sudah barang tentu akan mengarah pada integrasi antara pengkajian sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sekaligus juga mendorong terjadinya pengkajian sejarah yang interdisipliner. Apabila point-point di atas membicarakan sebab-sebab perlunya melakukan rapproachment, maka perlu pula dilihat keterkaitannya secara teoritis. (F.R. Ankersmit, 1987: 246-247) 1. Dengan bantuan teori-teori ilmu sosial yang menunjukkan hubungan antara berbagai faktor (misalnya inflasi, pendapatan nasional, pengangguran, dan sebagainya), pernyataan-pernyataan mengenai masa silam dapat dirinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. 2. Suatu teori sosial ilmiah, mengadakan hubungan antara berbagai variabel. Ini dapat mendorong seorang sejarawan meneliti sebuah aspek dari masa silam yang serasi dengan variabel tertentu. Dengan demikian, dan dengan bantuan teori dari ilmu sosial lain, seorang sejarawan lalu dapat melacak hubungan antara aspek tadi dengan aspek-aspek lainnya. Misalnya, sebuah teori mengenai hubungan antara penghematan dengan investasi, dapat mendorong sejarawan untuk meneliti penghematan di Inggris pada abad ke-18, dan dengan demikian dapat menambah dimensi baru kepada diskusi mengenai latar belakang Revolusi Industri di Inggris. Pengkajian sejarah yang dilakukan secara interdisipliner, merangsang penelitian sejarah sendiri dan membuka jalan untuk memberi jawaban baru kepada pertanyaan-pertanyaan lama. 3. Akibat yang dapat diharapkan ialah kaitan yang diadakan oleh suatu teori sosial, serta permasalahan yang ditimbulkan oleh teori itu, juga akan memberi tempat baru kepada permasalahan tersebut dalam tinjauan sejarah. Teori-teori sosial dapat membantu seorang sejarawan, agar dapat menyusun pengetahuannya mengenai masa silam dalam struktur yang paling memadai. 4. Teori-teori dalam ilmu sosial, biasanya berkaitan dengan struktur umum dan supraindividual di dalam kenyataan sosio-historis. Oleh karena itu, teori-teori tersebut dapat menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Suatu pendekatan sosio-historis dapat membantu kita, bila kita ingin mengerti perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan ribuan orang yang tak bernama. Dalam pengkajian sejarah, memang kelihatan suatu perhatian untuk suka duka orang-orang kecil pada masa silam. Hal ini sesuai dengan apa yang ingin ditampilkan oleh Prof. Sartono Kartodirdjo, bahwa perspektif historis dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial akan memberi tempat bagi rakyat kecil yang selama ini dianggap tidak memainkan peran dalam sejarah. Dengan kata lain rakyat kecil menjadi objek atau dramatis personae. 5. Bila teori-teori yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial memang dapat diandalkan dan dipercaya, maka dengan mempergunakan teori-teori itu, pengkajian sejarah dapat melepaskan diri dari cap subjektivitas yang sering dituduhkan kepada sejarawan. Penelitian sejarah yang ditopang oleh teori-teori yang dapat diandalkan, ternyata lebih dapat dipertanggungjawabkan objetivitas keilmuan sejarah itu sendiri. Orientasi pengkajian sejarah kepada ilmu-ilmu sosial selama dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, didukung oleh para sejarawan dan filsuf sejarah. Demikian D. Landes dan Ch. Tilly menandaskan, bahwa banyak masalah sejarah, baru dapat dipecahkan dengan bantuan sosiologi dan demografi. Cara kerja tradisional seorang peneliti sejarah tidak memadai, oleh karena itu harus minta bantuan dari teori-teori ilmu sosial yang membuka jalan untuk menerangkan dan melukiskan masa silam dengan cara yang lebih teliti. Selain itu, sejarawan dapat menyediakan bahan, guna memerinci dan memperbaiki teori-teori itu. Namun demikian, seorang sejarawan terutama harus bertindak dengan lebih sistematis, kuantifikasi harus menggantikan intuisi yang samar-samar. Tidak cukup mengatakan, bahwa pada tahun 1789, rakyat Perancis lebih makmur daripada seputar tahun 1750. Dengan tepat harus ditetapkan, berapa jumlah penghasilan nasionalnya atau pendapatan per kapitanya, baik pada tahun 1789 maupun tahun 1750. Pada tahun 1972, seorang sejarawan Amerika L. Benson, mengungkapkan harapannya, bahwa pada tahun 1984, semua sejarawan menjadi yakin, bahwa masa silam dapat diteliti dengan penuh arti, bila diminta bantuan dari ilmu-ilmu sosial. Konsep-konsep dan teori-teori ilmu-ilmu sosial itu diakui sangat perlu. Meskipun demikian, tidak satu pun di antaranya memberikan jalan keluar yang siap pakai begitu saja diambil tanpa pengujian yang hati-hati, pengadaan eksperimen, dan adaptasi. Para sejarawan sendiri harus mencari data dan metode ilmu sosial yang dapat memperluas lingkup dan makna penelitian mereka. Mereka harus menentukan sendiri apa yang harus diubahsesuaikan, dan apa yang harus dipadukan dalam kombinasi-kombinasi baru secara bebas, untuk dapat memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh mereka sendiri. (Ibrahim Alfian, 1985: 14) D. Relevansi Metodologi Sejarah dengan Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial Masalah ini merupakan masalah pokok dalam pembahasan pentingnya hubungan antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial dalam masalah pendekatan dan kerangka konseptual. Untuk menjelaskan relevansi metodologi sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, kita perlu bertolak dari konsep sejarah sebagai sistem. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (Kartodirdjo, 1988: 131) 1. Sejarah sebagai suatu sistem Suatu sistem terdiri atas unsur-unsur atau aspek-aspek yang merupakan suatu kesatuan. Bahwasannya suatu sistem itu bekerja dengan cara yang bagaimana, maka perlu dianalisis dengan ilmu-ilmu sosial. Dalam suatu sistem yang besar terdapat empat komponen yaitu kultur, biologi, ekologi, dan personality (pribadi) yang dengan fungsinya bersama-sama mendukung fungsi umum dari sistem yang besar itu. Di sini diperlukan pendekatan interdisipliner untuk menganalisis terjalinya fungsi berbagai komponen itu (ilmu kemanusiaan, Biologi, Ekologi, dan Psikologi). Biologi dan Ekologi sendiri memerlukan pembagian lebih lanjut atau pelbagai disiplin. Pada subsistem kultur, terdapat tiga unsur yang mendukungnya, yaitu ekonomi, sosial, dan politik, yang kesemuanya merangkum dalam satu subsistem yaitu kultur itu sendiri. Ekonomi sebagai sistem jaringan atau distribusi komoditi sangat ditentukan oleh sistem sosial, seperti stratifikasi sosialnya. Society sebagai sistem jaringan atau distribusi hubungan sosial yang sebagai sistem sangat ditentukan oleh polity, ialah sistem distribusi kekuasaan. Dengan demikian jelaslah terdapat hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga komponen itu pada hakekatnya sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, maka ketiganya dapat dicakup dalam kultur sebagai sistem. Jika kita menghadapi proses politik sebagai gejala sejarah maka untuk mengetahui proses itu, bagaimana pekerjaannya, perlu dilacak struktur kekuasaan yang ada di “belakangnya” sedangkan struktur politik dengan sendirinya kembali pada polity, yang seperti dijelaskan di atas mempunyai dimensi sosial, ekonomi, dan kultural. Tidak dapat diingkari bahwa tanpa bantuan kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial, gejala politik tersebut di atas sukar dianalisis dan dipahami jalannya prosesnya. Di sini kita tidak langsung berurusan dengan kausalitas tetapi lebih banyak dengan kondisi-kondisi dalam pelbagai dimensinya. Selanjutnya gejala ekonomis dan sosial perlu ditelaah juga dari aspek politik dan kulturalnya. Kombinasi antara pelbagai perspektif akan mampu mengekstrapolasikan interdependency antara berbagai aspek atau unsur. Dengan demikian gambaran gejala akan memperoleh lebih banyak relief. Di sini terdapat keuntungan pendekatan ilmu sosial, ialah menyoroti secara multi perspektivitas atau multidimensionalitas. Sebaliknya bentuk naratif hanya mampu memberi gambaran “datar” sehingga mudah terjebak dalam determinisme. Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial lain bersama dengan metode-metodenya dapat dikerahkan untuk menunjang terwujudnya keterangan sejarah, supaya relief kenyataan sejarah lebih penuh menampakkan diri. Namun demikian, ilmu-ilmu tadi perlu dibatasi pada jabatannya sebagai penunjang ilmu sejarah dalam usahanya menerangkan masa lampau tersebut. (Poespoprodjo, 1987: 62) Sebagai contoh misalnya Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888, menyatakan: “Dalam menganalisis konflik-konflik sosial dalam masyarakat Banten, kita harus memperhatikan sistem-sistem nilai tradisional dan keagamaan, sebagai suatu kekuatan konservatif yang menentang westernisasi ... Usaha untuk mengadakan korelasi antara kecenderungan-kecenderungan sosial dan peristiwa-peristiwa politik di satu pihak dan pola-pola kultural di pihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio-antropologis. (Kartodirdjo, 1984: 26) Sementara untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai determinan-determinan gerakan sosial, kita perlu memperhitungkan proses politik sebagai suatu konsep yang mengacu kepada interaksi antara pelbagai unsur sosial yang bersaing untuk memperoleh alokasi otoritas. Analisis semacam ini perlu menggunakan konsep-konsep ilmu politik. 2. Kecenderungan Penulisan Sejarah Struktural Kecenderungan penulisan sejarah struktural tidak bisa dilepaskan dengan pemahaman masalah masyarakat yang terikat pada struktur-struktur tertentu, sehingga perlu penjelasan yang lebih komprehensif tentang struktur itu sendiri. Sudah barang tentu penjelasan tentang struktur juga tidak bisa dilepaskan dengan sejarah prosessual. Ini berarti unsur struktur dan proses merupakan pijakan perspektif historis bilamana kita akan membahas peristiwa masa lampau secara kritis dan analitis. Dengan perlengkapan metodologi baru, seperti penggunaan pendekatan ilmu sosial, studi sejarah kritis memperluas daerah pengkajiannya, sehingga terbukalah kemungkinan melakukan penyerotan aspek atau dimensi baru dari pelbagai gejala sejarah. Kalau pada umumnya segi prosessual yang menjadi fokus perhatian sejarawan dengan pendekatan ilmu sosial dapatlah digarap aspek strukturalnya. Selanjutnya dipahami bahwa banyak aspek prosessual yang hanya dapat dimengerti apabila dikaitkan dengan aspek strukturalnya, bahkan dapat dikatakan pula bahwa proses hanya dapat "berjalan" dalam kerangka struktural. (Kartodirdjo, 1988: 134) Selanjutnya Sartono Kartodirdjo memberikan contoh, bahwa tindakan manusia dalam pergaulan senantiasa mengikuti kebiasaan, adat atau pola kehidupan yang berlaku dalam masyarakat itu. Pola atau kebiasaan yang mantap menimbulkan suatu kelembagaan, seperti adat-istiadat, etika, etiket, upacara, dan sebagainya. Dengan demikian kelakuan manusia dalam masyarakat selalu distrukturasikan sesuai dengan tradisi atau konvensi. Di sini struktur kelakuan yang mantap melatarbelakangi tindakan atau kelakuan tertentu seseorang. Apabila tidak ada struktur yang melandasinya, maka tindakan itu sukar "diramalkan" atau "ditafsirkan" oleh sesamanya, jadi timbul kekalutan sosial, suatu keadaan yang tidak mungkin kehidupan bersama secara teratur dan beradab. Meskipun demikian, bagaimanapun menariknya sejarah struktural, akan tetapi sejarah bukanlah sejarah apabila tidak memuat cerita tentang bagaimana terjadinya. Oleh karena itu seyogyanya campuran antara sejarah prosessual dan struktural yang paling memadai. Committee SSRC menjelaskan, "The fundamental problem of historical study is the analysis of change over time. Some social science have found it possible, in general, to push the problem of time into the background. (SSRC, 1954: 24) Sejarah struktural dapat diibaratkan kerangka tanpa daging, jadi tanpa kehidupan. Sebaliknya sejarah prosessual tanpa struktur tidak mempunyai bentuk. Kehidupan hanya dapat dimasukkan dalam konstruk apabila ada naratif yang mempunyai rethorik yang menggairahkan. Suatu analisis struktural dari riset sosiologi sangat penting untuk digunakan dalam mengkaji struktur masyarakat masa lampau. Contoh populer tentang hal ini adalah studi Floyd Hunter mengenai struktur kekuasaan masyarakat Atlanta, Georgia. Tesis dasar yang dicoba untuk didokumentasikan ialah bahwa sebagian besar kekuasaan yang efektif dalam masyarakat itu terpusat pada individu yang jumlahnya sangat kecil. Secara lebih khusus ia membuat hipotesis bahwa di belakang pemerintah yang terpilih secara resmi di Atlanta, berdiri pula beberapa elit tidak resmi yang sangat berkuasa yang merupakan orang-orang yang sebenarnya "membawa" masyarakatnya. Dengan menguasai sumber-sumber vital, bisnis, dan industri besar, fasilitas komunikasi, perbankan dan aktivitas keuangan lainnya, serta mengatur partai-partai politik, dan diduga dapat mendominasi semua keputusan dan program utama. Sebagai akibat yang wajar dari tesis ini bahwa tidak seorang pun di luar struktur kekuasaan yang sangat terpusat, benar-benar mempunyai kontrol terhadap kepentingan masyarakat. (Olsen, 1968: 212) Konsep sosiologi ini sangat penting dalam analisis sejarah yang ingin mengetahui struktur kekuasaan dalam perkembangannya di negara Atlanta. Dalam masalah struktur ini, sejarawan yang ingin membuat bagian analisis ilmu pengetahuan bagi kepentingan pemikirannya, tidak hanya digunakan untuk kepentingan sejarah saja, tetapi juga untuk kepentingan analisis studi lainnya. Namun demikian, sejarah sangat penting untuk menggunakan konsep dari ilmu pengetahuan ini. SSCR, misalnya mengatakan bahwa "There are two other ways of viewing and interpreting the subject matter of history. One is terms of the structure of the situation in which events take place ...". (SSCR, 95). Demikian halnya dengan masalah proses, James Thomson dan William Mc.Ewen mengajukan argumentasi bahwa tujuan organisasi tidaklah statis, tetapi agak berubah-ubah oleh adanya interaksi di dalam organisasi itu sendiri, dan antara organisasi dengan lingkungannya. Menurut mereka penempatan organisasi harus dilihat sebagai suatu proses yang terus menerus yang selalu sensitif menerima tekanan-tekanan sosial. (Olsen, 1968: 217) Dari contoh ini maka dapat disimpulkan bahwa peranan proses tidak bisa diabaikan dalam melihat suatu perkembangan. Sementara sejarah itu sendiri mempunyai titik tekan analisis pada perkembangan atau proses. Apabila kita bertolak dari pendapat bahwa setiap proses sejarah adalah momentum-momentum dari perubahan sosial. Di satu pihak kejadian sejarah atau peristiwa merupakan proses, dan di pihak lain dapat dipandang sebagai aktualisasi dari suatu struktur. Dengan perkataan lain setiap struktur merupakan aspek statis dari suatu proses, dan sebaliknya setiap proses merupakan aspek dinamis dari suatu struktur. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Tindakan atau kelakuan manusia pada saat tertentu selalu mengikuti pola tertentu sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya., dengan perkataan lain menurut pranata sosialnya. Ini berarti bahwa kelakuan atau aksi itu telah dibentuk atau distrukturasikan. Pada umumnya struktur sendiri berubah karena adanya pengaruh dari lingkungan, seperti dicontohkan misalnya adanya disorganisasi dan disintegrasi pola peranan. Namun demikian suatu destrukturasi akan diikuti oleh restrukturasi. Justru di sini dapat diobservasi proses-proses yang mulai membentuk dan memantapkan pola kelakuan baru sehingga akhirnya muncul struktur baru. (Kartodirdjo, 1988: 124). Antropolog Radcliffe Brown dalam bukunya Structure and Function in Primitive Society menjelaskan tentang fenomena sosial yang ditekankan pada hubungan antara kelompok dan individu sebagai organisme, yang disebut dengan istilah "struktur sosial". Menurut Brown, inilah yang merupakan studinya sebagai seorang antropolog sosial. Di sinilah letak antropologi sosial sebagai ilmu alam, yang menentukan ciri-ciri umum struktur sosial masyarakat sebagai kesatuan komponen. Dimensi struktur sosial menurut Brown ialah: 1) Hubungan diadik, yaitu hubungan sosial dari individu pada individu yang lain; 2) hubungan deferensial, yaitu hubungan sosial mereka dengan individu atau kelompok yang berbeda-beda. Dengan demikian, realitas konkret dalam struktur sosial adalah rangkaian hubungan yang benar-benar ada, yang terjadi pada suatu waktu. Dengan kata lain, bahwa hubungan aktual individu-individu dan kelompok-kelompok individu berubah dari tahun ke tahun atau dari hari ke hari. Adapun bentuk sosialnya juga mengalami perubahan tetapi sedikit demi sedikit. Struktur sosial itu ada dan dapat dipahami dengan pendekatan pada masyarakat sederhana (individu) maupun masyarakat yang kompleks atau manusia dalam sistem struktur. (Brown, 1965: 188 et.seq.) Dengan demikian teranglah bahwa peranan ilmu sosial sangat penting untuk memahami masyarakat secara mendalam dan ini sangat berguna bagi sejarah. Oleh karena itu pendekatan struktural merupakan implikasi metodologis dari ilmu sejarah karena mau tidak mau sejarah akan menggunakan pendekatan analitis dan multidimensional, bila melakukan rapproachment terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya. E. Penggunaan Konsep-konsep dan Teori-teori dalam Analisis Historis Bila pada bagian di atas menjelaskan beberapa alasan dan latar belakang serta relevansi ilmu-ilmu sosial bagi kepentingan analisis sejarah, sekarang bagaimana hal itu dilakukan, atau dengan kata lain bagaimana praktek penerapannya. Di atas telah disinggung, bahwa masalah metodologi sangat berkaitan dengan masalah teori. Teori sebagaimana dikemukakan oleh Percy S. Cohen, dibagi dalam empat kelompok besar, yaitu: 1) Teori-teori analitis, seperti logika dan matematika; 2) teori-teori normatif, seperti etika dan estetika; 3)Teori-teori saintifik; dan 4) Teori-teori metafisis. Selanjutnya Cohen mengatakan bahwa teori saintifik disebut universal karena teori itu menyatakan sesuatu mengenai kondisi-kondisi yang yang melahirkan beberapa peristiwa atau jenis peristiwa. Sementara itu, konsep dapat didefinisikan sebagai kata benda umum manapun juga. Kekuasaan, kewibawaan, perkembangan, perubahan misalnya adalah konsep-konsep yang biasa dalam ilmu politik. (Ibrahim Alfian, 1992: 365-366) Fungsi teori dalam disiplin sejarah seperti dikemukakan oleh Social Science Research Council di New York dalam sebuah laporan Panitia Historiografi, sungguh sama dengan yang terdapat dalam disiplin-disiplin lain, yaitu untuk mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti, menyusun kategori-kategori untuk mengorganisasikan hipotesis-hipotesis yang melaluinya berbagai-bagai macam interpretasi data dapat diuji, dan memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Teori tidak dapat memberikan "jawaban" kepada peneliti, akan tetapi membekali peneliti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan terhadap fenomena yang hendak ditelitinya. (Ibrahim Alfian, Supplement buku Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis: 5) Prof Dr. Ibrahim Alfian menjelaskan tentang hal ini dengan memberikan beberapa contoh misalnya, karya Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java (1973) telah mempergunakan kerangka analitis yang pernah dikemukakan oleh Henry A. Landsberger dalam The Role of Peasant Movement (1968) untuk memahami asal-usul, perkembangan, dan akibat-akibat pergerakan yang bersifat protes sosial. Dalam semua kasus multiplisitas faktor-faktor harus dikaji dan fenomena keresahan sosial hanya dapat dijelaskan melalui kombinasi sebab-sebab yang terpisah. Aspek-aspek analitis yang menjadi kerangka penelitian beliau adalah: 1) Struktur politik ekonomi pedesaan Jawa di abad XIX dan abad XX; 2) basis massa pergerakan sosial; 3) kepemimpinan pergerakan-pergerakan sosial; 4) ideologi-ideologi pergerakan, dan 5) dimensi kultural yang bersifat mendorong pergerakan sosial. (Ibid., p. 6) Dalam mengkaji masalah nasionalisme, Sartono Kartodirdjo menggunakan konsep dari psikologi sosial. Dikatakannya, bahwa nasionalisme dapat dilihat sebagai fakta sosio-psikologis, terutama pada tingkat pembentukannya, seperti yang terjadi di zaman Pergerakan Nasional. Kesadaran kelompok, sentimen dan kehendak kelompok yang dinyatakan pada berbagai organisasi nasional, merupakan wujud dan institusionalisasi tindakan kelompok. Dengan sudut pandang seperti ini, maka konseptualisasi metodologis nasionalisme mungkin dapat dicapai melalui sudut pandangan nasionalisme sebagai fakta sosio-psikologis itu. Sebagai tindakan kelompok nasionalisme mempunyai tiga aspek yang dapat dibedakan, yaitu: a) aspek kognitif; b) aspek orientasi nilai / tujuan; dan c) aspek afektif. (Kartodirdjo, 1992: 245) Sebuah pendekatan lain adalah pendekatan yang dilakukan oleh Prof. Ibrahim Alfian dalam disertasinya berjudul Perang di Jalan Allah (1987) dengan menggunakan pendekatan eklektik dengan mempergunakan teori dari pakar sosiologi Amerika, Neil J. Smelser, yang dikemukakan dalam bukunya Theory of Collective Behavior (1962). Menurut Smelser, komponen pokok aksi sosial adalah: nilai-nilai, norma-norma, mobilisasi motivasi perseorangan untuk aksi yang teratur dalam peran-peran kolektivitas, dan fasilitas situasional atau informasi, ketrampilan, alat-alat dan rintangan dalam mencapai tujuan-tujuan yang konkrit. Setiap gejolak sosial, diarahkan pada komponen-komponen tertentu aksi sosial itu, yakni ditujukan agar dapat merubah nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan fasilitas-fasilitas. (Ibrahim Alfian, 1985: 18) Selanjutnya menurut Smelser gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat sejumlah determinan atau necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal sebagai berikut: a. Kekondusifan struktural (structural condusiveness), yaitu kondusif atau tidaknya struktur sosial budaya masyarakat terhadap gejolak sosial; b. Ketegangan struktural (structural strain) yang timbul, misalnya berupa ancaman dan deprivasi ekonomi; c. Penyebaran keyakinan yang dianut (the spread of generalized belief). Dalam hal ini situasi harus dibuat bermakna bagi para pelaku yang potensial, sumber ketegangan dan cara-cara menghadapinya harus diidentifikasi; d. Faktor pencetus ide (the precipatating factor) berupa sesuatu yang dramatik; e. Mobilisasi untuk mengadakan aksi (mobilization into action). Dalam kondisi ini peranan pemimpin sangat penting. Situasi dapat dimulai dengan adanya kepanikan, timbulnya permusuhan, dan diteruskan dengan agitasi untuk reform atau revolusi; f. Pengoperasian kontrol sosial (the operation of social control). (Ibid. Lihat juga: Neil J. Smelser, 1962: 15-17) Teori inilah yang digunakan oleh Prof. Ibrahim Alfian dalam menggarap disertasinya. Inilah yang merupakan contoh penerapan suatu teori dari ilmu sosial dalam mengkaji peristiwa masa lalu yang dilakukan oleh dua pakar sejarah Indonesia. F. Pandangan dan Tanggapan Terhadap Multidimensional Approach Perlu kiranya dibahas di sini tentang pandangan maupun penilaian dan perkembangan gagasan metodologi sejarah dalam kaitannya dengan penggunaan dan peminjaman konsep-konsep dan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial lain. F.R. Ankersmit, telah menginventarisasi keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak yang kontra terhadap pengkajian sejarah yang berorientasi pada ilmu-ilmu sosial, antara lain: (F.R. Ankersmit, 1987: 247-250) 1. Dua keberatan yang sifatnya praktis, yaitu bahan yang kita peroleh dari sumber-sumber sejarah sering tidak lengkap, sehingga kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori-teori dari ilmu sosial. Pengkajian secara kuantitatif dengan mempergunakan teori-teori dari ilmu sosial bagi kurun waktu sebelum tahun 1800 praktis tidak mungkin. 2. Sering juga pendekatan sosio-historis dipersalahkan memotong-motong kekayaan historis, karena ia hanya menaruh minat terhadap segi-segi masa silam yang diteliti dengan bantuan ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi keberatan itu kurang meyakinkan. Tak ada seorang sejarawan pun yang dapat memaparkan seluruh kekayaan masa silam. Seorang sejarawan tradisional juga mengadakan seleksi, sekalipun lain daripada sejarawan yang bersandar pada ilmu-ilmu sosial. 3. Pengkajian tradisional lebih mampu menampilkan suatu pemandangan luas mengenai masa silam, daripada suatu pendekatan sosio-ekonomis yang hanya membeberkan statistik-statistik hasil pertanian dan angka-angka ekspor impor. 4. Pendekatan terhadap masa lampau yang mempergunakan teori-teori dari ilmu sosial lainnya hanya dapat diandalkan sejauh teori itu dapat diandalkan. Kesahihan teori-teori sosial sering disangsikan, apalagi kalau dibandingkan dengan bobot ilmiah yang terkandung dalam ilmu alam. 5. Suatu teori ilmu sosial tidak dapat digeneralisasikan secara universal, tetapi hanya berlaku terhadap suatu bagian dari masa silam yang ingin diteliti. Jadi, pekerjaan yang harus dilakukan seorang peneliti sejarah justru bertambah, tidak diperhemat. Mempergunakan teori-teori dari ilmu sosial hanya mempunyai fungsi heuristis, artinya memberi ide kepada seorang sejarawan untuk meneliti ini dan itu. 6. Keberatan terakhir tidak merupakan terhadap penggunaan teori-teori ilmu sosial, melainkan lebih merupakan sebuah peringatan, apa yang dapat dan apa yang tidak dapat diharapkan dari ilmu-ilmu sosial, bagi pengkajian sejarah. Bila seorang sejarawan melukiskan sebagian dari masa silam, maka dalam buku atau karangan yang membahas bagian dari masa silam, ia menampilkan suatu gambaran mengenai bagian masa silam itu. Tentunya supaya gambaran itu berbeda daripada gambaran-gambaran yang pernah dilukiskan oleh sejarawan-sejarawan terdahulu. Ilmu-ilmu sosial hanya berguna untuk memerinci detail-detail dalam sebuah uraian historis. Bila seorang sejarawan kita tafsirkan sebagai seorang guru gambar mengenai bagian-bagian dalam masa silam, maka ilmu-ilmu bantu, artinya membantu seorang sejarawan mengadakan seleksi apa yang merupakan masalah parsial saja, bila dipandang dari perspektif uraian historis seluruhnya. Apabila dilihat perkembangan dari gagasan metodologi multidimensional ini, khususnya di Indonesia, maka sangat menarik apa yang diungkapkan oleh Taufik Abdullah, bahwa pertama multidimensional approach, dikatakannya masih merupakan suatu harapan, karena dari sudut metodologis tidak banyak terjadi perubahan yang berarti. Kedua, ada dimensi yang dilupakan bila tidak dikatakan hilang, oelh sejarawan profesional Indonesia pasca multidimensional approach, yaitu dimensi "makna" dari hasil penulisan mereka. Benarkah demikian? Pembahasan terhadap masalah ini haruslah bertolak dari ciri ilmu sejarah itu sendiri, yaitu bahwa berbicara tentang sejarah adalah berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah tuntas. Mengapa demikian? Ya, karena setiap hasil penulisan sejarah adalah rethinking kembali terhadap kajian masa lampau yang pernah ditulis oleh penulis masa lalu. Hal ini wajar karena sesuai dengan kata Cicero, bahwa sejarah adalah anak zaman. Setiap generasi akan menuliskan sejarahnya. Sudah barang tentu, setiap ditemukannya bukti-bukti yang baru dan interpretasi ataupun penggarapan dengan metodologi yang lebih "canggih" akan memunculkan suatu hasil baru, yang sebenarnya justru akan melengkapi kajian yang pernah atau telah dilakukan sebelumnya. Bila kita lihat perkembangan penulisan sejarah di Indonesia sejak diadakannya Seminar Sejarah I di Yogyakarta, maka keinginan untuk mengungkapkan sejarah dari "dalam" dan bersifat nasionalistis, dengan mengadakan suatu sintesis ke arah kesatuan geopolitik (integrasi) dengan menggunakan pendekatan multidimensional approach, maka dapatlah kita pahami, bahwa sejak semula multidimensional approach dimaksudkan untuk memberikan bobot ilmiah, kekritisan, dan Indonesia View dari suatu rekonstruksi sejarah Indonesia. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa kekritisan yang diharapkan dengan penggunaan konsep-konsep dan teori-teori dari berbagai ilmu sosial bersifat problem oriented, sehingga sangat berkonsekuensi terhadap sikap "academical actions". Dengan demikian, sudah barang tentu, multidimensional approach merupakan salah satu upaya "pengilmiahan" dengan ciri "kegelisahan" mencari dan kesediaan untuk menguji asumsi yang dipaparkannya. (Indriyanto, 1992: 3) Memang, seperti apa yang disinyalir oleh Taufik Abdullah, bahwa multidimensional approach secara metodologis tidak banyak menghasilkan perubahan dalam penulisan sejarah di Indonesia. Beberapa implikasi baik secara teoritis maupun praktis dikemukakan oleh Taufik antara lain: 1)Secara implisit menolak determinisme sejarah; 2) Masalah objektivitas sejarah "dipindahkan" dari lapangan filsafat ke problem-problem metodologis; 3) Makin intimnya sejarawan dengan konsep ilmu-ilmu sosial sehingga berakibat pada usaha pemberitaan historis; 4) Sejarah lokal dan agraria semakin menjadi "primadona" dalam historiografi Indonesia; 5) Lebih menekankan pada peristiwa struktural daripada event; mode of explanation yang bercorak argumentatif teoritis, sehingga menyebabkan rekonstruksi harus selalu diuji dan diperdebatkan. Dari beberapa hal di atas, masih harus ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dalam "peredaran" karya sejarah dalam masyarakat luas terkesan masih didominasi oleh sejarawan konvensional. Apa yang dihasilkan oleh multidimensional approach lebih merupakan gagasan teoritis. Hal itu dibuktikan dengan beberapa disertasi yang masih terikat dengan pertanyaan konvensional dan adanya "perdebatan terselubung" dari disertasi-disertasi produk setelah multidimensional approach dipopulerkan. Taufik mencontohkan disertasi Djoko Suryo yangmemperkenalkan quanto-history, Ibrahim Alfian yang mencoba melakukan pendekatan dari dalam yang bertolak dari cluster of events, suatu hal yang menyebabkan beliau bergumul dengan interpretasi teks. Kedua studi ini merupakan contoh yang cukup ekstrim bila ditarik pada konsekuensi logisnya karena memperdebatkan asumsi teoritis yang berbeda. Di samping itu, Sutjipto yang lebih melakukan penekanan sumber yang exhaustive, Kuntowijoyo dan Onghokham yang menekankan pada masalah tematis dengan kecermatan konseptualisasi, Hamid Abdullah yang menggunakan oral tradisi, dan berbagai makalah seminar dengan konsep yang segar dan manantang yang tertuju pada tema-tema kecil. Semua itu menunjukkan pada suatu kecenderungan ilmiah lain dari multidimensional approach. Karya-karya mereka masih menunjukkan pada kemajemukan konsep dan trends yang sedang "in". Fenomena seperti ini sebenarnya bukanlah merupakan sesuatu yang merisaukan, bahkan justru menggembirakan. Mengapa demikian? Ya, karena sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri, maka metodologi merupakan sesuatu yang berdinamika dan terus berkembang. Bukankah salah satu kebutuhan yang urgen pada saat ini adalah visi baru pada sejarah modern, seperti yang dikatakan oleh Alfred Weber? (Mayerhoff, 1959: 29) Yang jelas, mereka telah berjasa dengan berbagai konsep metodologisnya sendiri-sendiri. Adalah sesuatu yang nonsense bila kemajuan penulisan sejarah hanya didasarkan pada satu view of approach saja. G. Penutup Adalah merupakan sesuatu yang bermakna bagi dunia akademis manakala muncul suatu perdebatan tentang problem metodologis. Ini semua menunjukkan pada kegairahan untuk senantiasa mencari kebenaran yang didasarkan pada keintelektualan sejarawan. Tak kecuali dengan upaya pengkajian sejarah dengan menggunakan pendekatan dari ilmu-ilmu sosial. Dunia semakin global, dan ini sudah barang tentu akan berdampak pula pada ilmu pengetahuan, meskipun bagaimanapun kecilnya. Demikianlah ulasan dari statement Prof. Sartono Kartodirdjo tentang penggunaan teori-teori dan konsep-konsep dari ilmu pengetahuan sosial untuk membekali peralatan analitik bagi sejarah dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau. Kepustakaan Aitken, Hugh G.J. (ed.), 1954. The Social Science in Historical Study. New York: SSRC. Alfian, Ibrahim, “Sejarah dan Permasalahan Masa Kini” dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Sastra Universitas Gajahmada Yogyakarta, 12 Agustus 1985. ---------, “Konsep dan Teori dalam Disiplin Sejarah”, dalam Basis No. 10, Oktober 1992. ---------, “Tentang Metodologi Sejarah”, dalam Supplement buku Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, tidak diterbitkan. Brown, A.R. Radcliffe, 1965. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press. Indriyanto, “Gagasan Teori dan Metodologi Sejarah Masih Mencari Sosoknya” makalh tugas MK Kapita Selekta, 1992/1993. Kartodirdjo, Sartono, “Metodologi Max Weber dan Wilhelm Dilthey”, dalam Lembaran Sejarah No. 6 Tahun 1970. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Budaya UGM. ---------, 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia. ---------, 1984. Pembrontakan Petani Banten Tahun 1888. Jakarta: Pustaka Jaya. ---------, 1988. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: P.AU. Universitas Gajahmada. ---------, 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Universitas Gajahmada Press. ---------, 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jilid II. Jakarta: Gramedia. Ankersmit, F.R., 1987. Refleksi Tentang Sejarah. Jakarta: Gramedia. Mayerhoff, Hans (ed.), 1959. The Philosophy of History in Our Time an Anthology. New York: Anchor Books. Olsen, Marvin E., 1968. The Process of Social Organization. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. Poespoprodjo, 1987. Subjektivitas dalam Historiografi. Bandung: Remaja Karya. Suryo, Djoko, “Sekitar Masalah Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial: Sebuah Catatan”, dalam Bacaan Sejarah No. 4 Tahun 1980. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Budaya Universitas Gajahmada.

resensi buku : indra ke 6

Judul : Indera ke 6 Pengarang : Jhon af Penerbit :Dafa publishing, yogyakarta Cetakan I juni 2011 Sesungguhnya, niat pikiran manusia sama sekali bukan apa-apa, yang berfungsi adalah kemampuan manusia. Di tengah masyarakat, sejumlah orang pasti memiliki kemampuan tertentu. Dan bagi orang-orang demikian, niat pikiran mereka bisa memerintahkan kemampuan mereka untuk melakukan sesuatu, bukan niat pikiran mereka yang menimbulkan efektivitasnya. Hanya saja, manusia tidak dapat melihat kemampuan-kemampuan yang eksis di dimensi lain, karena itu tidak mengetahui sebab-musababnya. Namun, bagi sejumlah besar orang, mereka tidak memiliki kemampuan seperti itu, dan dengan sendirinya tidak mempercayai keberadaan hal-hal demikian, terkadang jelas nyata kelihatan, namun hanya bisa dianggap sebagai halusinasi atau tipuan belaka. Dan tentu saja, masih ada sejumlah orang percaya bahwa di dalam kekaburan, terdapat suatu kekuatan lain. Dan mungkin ini yang disebut dengan kesadaran oleh orang-orang yang melakukan kultivasi dan latihan. Teknik Mengembangkan Indera Ke-6 / cenayang Cara tersebut dapat membantu anda untuk mencapai sesuatu yang benar-benar anda inginkan, kuncinya, anda benar-benar menghendakinya. Banyak orang berharap agar terjadi perubahan. Tetapi, yang terjadi hanya sampai pada tahap harapan. Mereka tidak mempunyai keinginan kuat untuk melakukan perubahan. Agar harapan anda bisa menjadi kenyataan, anda harus mengikuti Hukum alam semesta. Keempat unsur berikut diperlukan untuk pencapaian kemampuan: 1. Memiliki Harapan 2. Menciptakan Impian (Visualisasi ) 3. Melepaskan Impian kedalam Pikiran Agung (Kepercayaan dan komitmen) Sambil tetap mempertahankan Visualisasi 4. Melakukan Tindakan Konstruktif (Latihan mengendalikan dan mengarahkan impian) Anda hanya perlu mempelajari bagaimana agar otak memasuki alpa atau theta secara sengaja, visualisasi merupakan kunci untuk mencapai gelombang otak theta berdasarkan kehendak sendiri dan kemudian menggunakan keadan itu untuk mencapai keadaan cenayang. Anda cukup memejamkan mata, kemudian anda melakukan sejumlah latihan relaksasi, visualisasi bisa juga dengan meditasi dan membaca mantra maupun do’a. Mata penglihatan: Sebagian besar cenayang banyak menggunakan indera penglihatan di dalam karya cenayang mereka. Ada dua macam penglihatan cenayang: Pertama, Menyangkut penglihatan citra, pemandangan, atau berbagai mahluk yang ada di dalam pikiran kita. Kedua, Menyangkut penglihatan citra, pemandangan, atau berbagai mahluk yang berada di luar pikiran kita. Dalam konteks ini, mahluk yang di maksud misalnya hantu, arwah, atau bias dengan merasakan kehadiran bahkan menyentuh entitas lain. Membuat Peka Mata Cenayang/Penglihatan : 1. Pada malam hari, tanpa lampu yang menyala, tengoklah di sekeliling anda. Pelajari dan kenali bentuk yang anda lihat. Lakukan hal ini di tempat tidur ,diranjang anda, di halaman ruma, ketika anda berjalan-jalan di tempat lain. 2. Pada saat ada mengenali bentuknya, katakanlah di dalam batin atau dengan suara keras( tersera anda ): “ Ternyata seperti ini bentuk ( sebutkan nama benda atau sesuatu yang anda lihat tersebut ) di kegelapan. Aku telah membuat penglihatanku semakin peka untuk mengenali berbagai benda di kegelapan dan di bawah cahaya apa pun secara akurat.” 3. Pada siang hari yang cerah di tempat manapun dan kapanpun, sisihkan beberapa detik untuk mengamati apa yang ada di sekitar anda. 4. Secara mental, ulangi apa yang anda lihat dan katakanlah: “ aku melatih pikiran cenayangku agar setiap saat dapat mengamati lingkungan secara akurat.” 5. katakanlah: “ Aku memerintahkan pikiran bawah sadarku agar selalu mengingatkanku mengenai segala sesuatu yang perlu kulihat demi kepentinganku dan perlindungan bagi diriku. Dengan demikian, aku dapat berfungsi dengan kapasitas cenayangku secara penuh.” Prosedur awal ini bersifat ilustratif. Anda dapat mempraktikan kiat tersebut apa adanya. Atau, Anda juga bisa menciptakan latihan anda sendiri untuk mencapai penyesuaian yang serupa bagi pikiran cenayang anda.

Komunikasi dalam Sebuah Organisasi

Organisasi atau Organization atau bersumber dari kata kerja bahasa Latin Organizare ! to form as or into a whole consisting of interdependent or coordinated parts [membentuk sebagai atau menjadi keseluruhan dari bagianbagian yang saling bergantung atau terkoordinasi]. Evert M. Rogers dan Rekha Agarwala Rogers dalam bukunya Communications in Organization "a stable system of individuals who work togather to achieve, through a hierarchy of ranks and division of labour, common goals" [Suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui suatu jenjang kepangkatan dan pembagian tugas]. Robert Bonnington dan Berverd E. Needles, Jr. dalam bukunya Modern Business : A Systems Approach Organization is the means by which management coordinates material and human resources through the design of a formal structure of tasks and authority [Organisasi adalah sarana dimana manajemen mengkoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang]. Ditinjau dari aspek Business, organisasi adalah sarana manajemen [ditinjau dari aspek kegiatannya, bukan struktur]. " Tujuan organisasi TIDAK MUNGKIN tercapai tanpa manajemen. " Manajemen TIDAK MUNGKIN ada tanpa organisasi. Manajemen ada, jika ada tujuan yang akan dicapai atau diselesaikan. Korelasi antara Ilmu Komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi. " Bentuk komunikasi apa yang terjadi " Metode dan teknik apa yang dipakai " Media apa yang dipakai " Bagaimana prosesnya, dan faktor apa saja penghambatnya Tujuan utama dalam mempelajari komunikasi adalah memperbaiki organisasi. Memperbaiki organisasi biasanya ditafsirkan sebagai “memperbaiki hal-hal untuk mencapai tujuan manajemen”. Dengan kata lain, orang mempelajari komunikasi organisasi organisasi untuk menjadi menajer yang lebih baik. Sebagian penulis berpendapat bahwa manajemen adalah komunikasi. Seringkali teori tradisional dan petunjuk mengenai organisasi dan komunikasi organisasi ditulis dari suatu perspektif manajerial dan sangat menekankan suatu pandangan obyektif. Karenanya, saya memandang studi komunikasi organisasi sebagai landasan kuat bagi karier dalam manajemen, pengembangan sumber daya manusia, dan komunikasi perusahaan, dan tugas-tugas lain yang berorientasikan manusia dalam organisasi. Definisi Fungsional Komunikasi Organisasi Komunikasi Organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari dari unit-unit komunikasi dalam hubungan hierarkis antara yang satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan. Unit Komunikasi Suatu sistem didefinisikan oleh Pool [1973] sebagai “setiap entitas berkelanjutan yang mampu berada dalam dua keadaan atau lebih” . Dalam suatu sistem komunikasi, keadaan itu adalah hubungan antara orang-orang. Dalam suatu sistem komunikasi organisasi keadaan tsb adalah hubungan antara orang-orang dalam jabatan-jabatan [posisi-posisi] . Unit mendasar komunikasi organisasi adalah seseorang dalam suatu jabatan. Orang bisa disosialisasikan oleh jabatan, menciptakan suatu lingkaran yang lebih sesuai dengan keadaan jabatan, pada saat yang sama jabatan tsb dipersonalisasikan, menghasilkan suatu figur atau gambar yang sesuai dengan keadaan orang tsb. Bila kita melihat apa yang terjadi ketika seseorang terlibat dalam komunikasi, kita menemukan bahwa terdapat dua bentuk umum tindakan yang terjadi : 1.Penciptaan pesan atau, lebih tepatnya, penciptaan pertunjukkan [to display menurut Random House Dictionary of The English Language 1987 : anda membawa sesuatu untuk diperhatikan seseorang atau orang lain; menyebarkan seseuatu sehingga sesuatu tsb dapat terlihat secara lengkap dan menyenangkan] . 2.Penafsiran pesan atau penafsiran pertunjukkan [to intepret : menguraikan atau memahami sesuatu dengan suatu cara tertentu]. Contoh : Ketika anda berpakaian warna merah di pagi hari, anda menciptakan pertunjukkan bagi diri anda sendiri. Anda menempatkan diri anda sendiri, atau setidaknya apa yang anda rasa anda pikirkan mengenai diri anda sendiri, sehingga terpandang jelas. Anda menempatkan diri anda sendiri dalam suatru posisi yang menyenangkan bagi pengamatan tertentu. Pakaian anda, perhiasan, dan hiasan wajah merepresentasikan diri anda sendiri kepada orang lain. Ada aksioma komunikasi yang berbunyi “seseorang tidak dapat tidak berkomunikasi [A person cannot not communicate]” [Smith and Williamson, 1977, hlm. 61]. Secara teknis, seseorang tidak dapat menghindari untuk menunjukkan pesan. Apa yang anda tunjukkan atau tempatkan sehingga terlihat jelas memang merepresentasikan anda. Anda adalah “suatu pertunjukkan pesan yang berjalan”. PROSES KOMUNIKASI ORGANISASI KOMUNIKASI INTERNAL Pertukaran gagasan di antara para administrator dan karyawan dalam suatu perusahaan, dalam struktur lengkap yang khas disertai pertukaran gagasan secara horisontal dan vertikal di dalam perusahaan, sehingga pekerjaan berjalan [operasi dan manajemen]. Dua dimensi komunikasi internal : A.KOMUNIKASI VERTIKAL Komunikasi dari pimpinan ke staff, dan dari staf ke pimpinan dengan cara timbal balik [two way traffic communication]. • Downward Communication. komunikasi atas ke bawah. Contoh pimpinan memberikan instruksi, petunjuk, informasi, penjelasan, perintah, pengumuman, rapat, majalah intern [lihat contoh skema] • Upward communication dari bawah ke atas. Contoh staf memberikan laporan, saran-saran, pengaduan, kritikan, kotak saran, dsb kepada pimpinan [lihat contoh skema] Hambatannya adalah apabila saluran komunikasi dalam organisasi tidak berjalan atau digunakan sebagaimana mestinya, karena hal ini berpengaruh terhadap operasional organisasi [perusahaan]. Organisasi terdiri atas sejumlah orang; melibatkan keadaan saling bergantung; kebergantungan memerlukan koordinasi; koordinasi mensyaratkan komunikasi. Interkasi antara pimpinan organisasi [top manajer dengan middle manager] dengan audience di luar organisasi Manajer = pemimpin organisasi [swasta, BUMN atau pemerintah] peranannya dapat berpengaruh terhadap internal public [karyawan] dan external public [di luar organisasi, tetapi ada pengaruhnya] 1. Peranan Antarpersona [Interpersonal Role] a. Peranan Tokoh [figurhead role] b. Peranan Pemimpin [leader role] c. Peranan Penghubung [liaison role] 2. Peranan Informasional [Informational Role] a. Peranan Monitor [monitor role] b. Peranan Penyebar [disseminator role] c. Peranan Jurubicara [spokesman role] 3. Peranan Memutuskan [Decisional Role] a. Peranan Wiraswasta [enterpreneur role] b. Peranan Pengendali Gangguan [distrurbance handler role] c. Peranan Penentu Sumber [resource allocator role] d.Peranan Perunding [negotiator role] B. KOMUNIKASI HORISONTAL komunikasi mendatar, antara anggota staf dengan anggota staf. Berlangsung tidak formal, lain dengan komunikasi vertikal yang formal. Komunikasi terjadi tidak dalam suasana kerja ! employee relation dan sering timbul rumours, grapevine, gossip C. KOMUNIKASI DIAGONAL [CROSS COMMUNICATION] Komunikasi antara pimpinan seksi/bagian dengan pegawai seksi/bagian lain. KOMUNIKASI EKSTERNAL Komunikasi antara pimpinan organisasi [perusahaan] dengan khalayak audience di luar organisasi. [lihat skema ekternal audience]  Komunikasi dari organisasi kepada khalayak. bersifat informative:Majalah, Press release/ media release, Artikel surat kabar atau majalah, Pidato, Brosur, Poster, Konferensi pers, dll  Komunikasi dari khalayak kepada organisasi Komunikasi Kolaboratif dalam Organisasi Bisnis To meet the challenge in the workplace today requires. Setiap staf pada bagian manapun seharusnya : • Relationship Oriented ! Networking ! sinergi • Service Focused ! berpikir pada pelayanan • Customer Commited ! mempunyai komitmen pd pelanggan • Facilitative [media saluran/pendukung] • Forward Thinking ! berpikir kedepan • Value Added [nilai tambah ! selalu berusaha mengupdate kemampuan komunikasi] • Team Driven [serba tim] and leaders [mampu tampil sebagai pemimpin] HAMBATAN KOMUNIKASI  Hambatan Teknis Keterbatasan fasilitas dan peralatan komunikasi. Dari sisi teknologi, semakin berkurang dengan adanya temuan baru dibidang kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga saluran komunikasi dapat diandalkan dan efesien sebagai media komunikasi. Menurut Cruden dan Sherman dalam bukunya Personel Management, 1976, jenis hambatan teknis dari komunikasi : # Tidak adanya rencana atau prosedur kerja yang jelas # Kurangnya informasi atau penjelasan # Kurangnya ketrampilan membaca # Pemilihan media [saluran] yang kurang tepat.  Hambatan Semantik Gangguan semantik menjadi hambatan dalam proses penyampaian pengertian atau idea secara secara efektif. Definisi semantik sebagai studi atas pengertian, yang diungkapkan lewat bahasa. Kata-kata membantu proses pertukaran timbal balik arti dan pengertian [komunikator dan komunikan], tetapi seringkali proses penafsirannya keliru. TIDAK ADANYA hubungan antara Simbol [kata] dan apa yang disimbolkan [arti atau penafsiran], dapat mengakibatkan kata yang dipakai ditafsirkan sangat berbeda dari apa yang dimaksudkan sebenarnya. Untuk menghindari mis komunikasi semacam ini, seorang komunikator HARUS memilih kata-kata yang tepat sesuai dengan karakteristik komunikannya, dan melihat kemungkinan penafsiran terhadap kata-kata yang dipakainya.  Hambatan Manusiawi Terjadi karena adanya faktor, emosi dan prasangka pribadi, persepsi, kecakapan atau ketidakcakapan, kemampuan atau ketidakmampuan alat-alat pancaindera seseorang, dll. Menurut Cruden dan Sherman : # Hambatan yang berasal dari perbedaan individual manusia. Perbedaan persepsi, perbedaan umur, perbedaan keadaan emosi, ketrampilan mendengarkan, perbedaan status, pencairan informasi, penyaringan informasi. # Hambatan yang ditimbulkan oleh iklim psikologis dalam organisasi. Suasana iklim kerja dapat mempengaruhi sikap dan perilaku staf dan efektifitas komunikasi Organisasi. Konsep Dasar dan Peranan Komunikasi Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, di kampus, dalam masyarakat atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam konunikasi. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidaklah dapat dipungkiri begitu juga halnya bagi suatu bisnis. Dengan adanya komunikasi yang baik suatu organisasi atau bisnis, maka bisnis tersebut tentu dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dan begitu pula sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi dalam bisnis dapat macet dan berantakan. Oleh karena itu, para pemimpin dan para komunikator dalam bisnis perlu memahami dan menyempurnakan kemampuan komunikasi mereka. TUJUAN KOMUNIKASI BISNIS Secara umum, ada tiga tujuan komunikasi bisnis yaitu; 1) Memberi informasi tujuan pertama dalam komunikasi bisnis adalah memberikan informasi yang berkaitan dengan dunia bisnis kepada pihak lain. Contoh: seorang pemimpin perusahaan ingin mendapatkan pegawai yang di harapkan, maka dia memasang iklan melalui media mass, mamasang websitus/ situs di jalur internet, dalam hal ini setiap media mempunyai kelebihan dan kekurngan di lihat dari jangkauan dan biayanya, untuk itu harus memilih media mana yang akan di pilih. Dan itu tergantung pada kebijakan perusahaan dengan melihat kemampuan internal perusahaan tersebut. 2) Memberi persuasi tujuan kedua komunikasi bisnis adalah memberikan persuasi kepada pihak lain agar apa yang di sampaikan dapat di pahami dengan baik dan benar, hal ini sering di lakukan terutama yang berkaitan dengan penegasan konfirmasipesan pelanggan atau negosiasi dengan pelanggan, agar kedua pihak meperoleh manfaat secara bersama-sama tanpa ada yang di rugikan. 3) Melakukan kolaborasi tujuan ketiga dalam komunikasi bisnis adalah melakukan kolaborasi,atau kerjasama bisnis antara seseorang dengan orang lain,melalui jalinan komunikasi bisnis tersebut seseorang dapat dengan mudah melakukan kerjasama bisnis,saat sekarang seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi maka seseorang akan dapat menggunakan berbagai media telekomunikasi seperti telepon,facsimile,telepon seluler,internet surat elektronik,teleconference.teknologi komunikasi tersebut sangat penting artinya dalam pererat kerjasama bisnis. KESIMPULAN Memberikan gambaran tentang bagaimana peran penting sebuah komunikasi yang baik dalam menjalankan bisnis, konsep komunikasi dalam sebuah bisnis, penjelasaan tentang beberapa tujuan berkomunikasi di dalam sebuah bisnis, efektivitas komunikasi dalam bisnis, faktor yang dapat menjadikan sebuah komunikasi bisnis bisa berjalan dengan baik, semoga saja Karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kita semua,khususnya untuk para pemula yang ingin memulai berbisnis.